Selasa, 04 Januari 2011

Ngurek

BAB I
ISI

2.1.    Pengertian Ngurek
          Tradisi Ngurek atau Ngunying hingga kini masih dilestarikan oleh masyarakat Bali. Tradisi tersebut ada di sejumlah daerah di Bali. Tradisi ini umumnya berkaitan erat dengan ritual keagamaan. Bahkan, di sejumlah desa adat di Bali tradisi ini wajib dilangsungkan.
          Tradisi Ngurek di Bali merupakan wujud bakti seseorang kepada Sang Hyang Widhi Wasa. Atraksi menusuk diri dengan keris ini berlangsung ketika para pelaku berada dalam keadaan kerauhan (trance). Ini sebuah keunikan sekaligus misteri yang sulit dijelaskan, namun amat biasa bagi orang Bali.
          Ngurek berasal dari kata ‘urek’ yang berarti lobangi atau tusuk, jadi Ngurek dapat diartikan berusaha melobangi atau menusuk bagian tubuh sendiri dengan keris,tombak,atau alat lainnya saat berada dalam kondisi kerauhan. Karena Ngurek dilakukan dalam kondisi kerauhan, maka roh lain yang memasuki tubuh akan member kekuatan, sehingga menjadi kebal.
          Tradisi Ngurek biasa dilakukan di luar areal pura utama. Sebelum Ngurek dilakukan, biasanya Barong dan Rangda serta orang yang biasa Ngurek (juru urek) yang juga biasa disebut dengan ‘pepatih’ keluar dari kompleks pura utama dan mengelilingi wantilan pura sebanyak 3 kali. Saat melakukan hal itulah, para pepatih mengalami titik kulminasi spiritual tertinggi dan keris pun langsung ditancapkan ke bagian tubuhnya tanpa terluka sedikitpun. Ngurek sendiri memiliki gaya masing-masing, ada yang berdiri sembari menancapkan keris ke bagian tubuhnya dan ada pula yang bersandar di pelinggih kemudian menancapakn keris ke tubuhnya sendiri. Setelah upacara selesai, para pelaku ngurek kembali ke areal pura utama.
          Menurut sejarahnya, tradisi Ngurek bersumber dari ritus keagamaan di Bali. Biasanya dilakukan saat upacara Dewa Yadnya yang disebut Ngeramen di pura, sanggah (merajan) dan paibon. Prosesi sakralnya berbeda-beda antara daerah satu dengan lainnya.
          Tradisi Ngurek tidak hanya dilakukan di Bali, tapi juga terdapat di daerah lain. Misalnya di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan, kebiasaan ini dilakukan oleh mereka yang disebut juru doa, mirip dengan balian atau dukun. Para juru doa ini diundang untuk memimpin hajatan. Manakala ritual berlangsung, juru doa akan mengalami kerauhan dan langsung mencabut keris kecil yang terselip di pinggangnya kemudian menusuk telapak tangannya sendiri, berlanjut menikam dada dan perutnya. Fenomena sejenis juga dapat disaksikan dalam kesenian tradisional suku Jambi yang menampilkan tarian berkolaborasi dengan budaya magis. Pada puncak tarian si penari wanita akan menusukkan dua pedang yang tadi dipakai menari ke tubuhnya sendiri dalam keadaan trance.
          Pada masyarakat Hindu India, khususnya penyembah Durga Ma dalam perayaan Tiruwila juga biasa menampilkan atraksi serupa. Hanya saja mereka benar-benar menusuk bagian anggota tubuhnya hingga tembus dengan benda-benda tajam. Adegan ini sebenarnya merupakan satu aktivitas ritual bagi pemuja sakti, dengan menghadirkan kekuatan supranatural, roh-roh gaib untuk membantu atraksi, sehingga tidak sampai membahayakan nyawa mereka.
          Kondisi kerauhan (trance) bisa diupayakan, namun sulit diduga mengenai waktu maupun orang yang mungkin akan kerauhan. Orang yang disiapkan untuk kerauhan bisa jadi tidak mengalami apa-apa. Sebaliknya justru pada partisipan lainnya yang mengalami kerauhan. Trance dalam Ngurek biasanya terjadi atau diupayakan dengan prosesi ritual khusus. Untuk mencapai klimaks kerauhan, mereka harus melakukan serangkaian ritual. Tahap-tahap itu secara garis besar dapat dibagi tiga yakni Nusdus, Masolah, Ngaluwur. Nusdus adalah merangsang para pelaku ngurek dengan asap asap yang beraroma harum menyengat. Masolah merupakan tahap menari dengan iringan lagu-lagu dan koor kecak atau bunyi gamelan. Sedangkan Ngaluwur berarti mengembalikan pelaku ngurek pada jati dirinya.
          Dari fenomena Ngurek yang berkembang saat ini dan membandingkannya dengan tradisi serupa di sejumlah ritual Hindu di tempat lain, atau pada keyakinan agama lain di suatu daerah, maka Ngurek merupakan perpaduan antara dua hal. Pertama. Tradisi ini merupakan kebiasaan masyarakat Bali Purba dari zaman animism-dinamisme, dimana saat upacara mengundang roh leluhur dilakukan, para roh diminta untuk berkenan memasuki badan orang-orang yang telah ditunjuk. Bagi masyarakat animisme-dinamisme, kerauhan yang diikuti atraksi Ngurek dipercaya sebagai sebuah tanda, bahwa roh-roh yang diundang telah hadir di sekitar mereka. Kedua. Tradisi Ngurek bagi masyarakat Hindu Bali di beberapa daerah memiliki fungsi mirip dengan kepercayaan animisme, tetapi bedanya tidak dalam rangka mengundang roh leluhur, namun mengundang Ida Bhatara dan para Rencang-Nya untuk berkenan menerima persembahan ritual saat upacara piodalan. Jika orang-orang yang ditunjuk sudah kerauhan dan mulai ngurek, maka masyarakat bisa mengetahui dan meyakini kalau Ida Bhatara sudah tedun dan berkenan katuran piodalan. Dengan turunnya Ida Bhatara ke marcapada (dunia), maka umat yang mengikuti prosesi ritual piodalan ini kian mantap dengan semangat bhaktinya.
2.2     Makna Ngurek
          Ngurek merupakan bagian dari yadnya atau pengorbanan yang tulus ikhlas seorang hamba kepada Tuhannya. Hampir semua agama memiliki cara tersendiri dalam melakukan pengorbanan diri sebagai tanda bhakti kepada Tuhan. Seperti misalnya ketentuan selibat (membujang) dalam ajaran agama Kristen, kewajiban berpuasa atau tidak makan dan minum dalam agama Islam, meditasi dan ajaran vegetarian dalam agama Budha, kemudian dalam Hindu sendiri banyak jenis ajaran pengorbanan diri, mulai dari puasa, yoga, brhmachari, ngurek, dan sebagainya.
          Dalam sebuah ritual upacara di Bali, selain dengan mempersembahkan berbagai bentuk bebantenan, ada juga komponen persembahan lain, seperti misalnya tarian, music atau gamelan, kidung, dan beragam bentuk persembahan lainnya. Ngurek sendiri merupakan persembahan dalam bentuk tari-tarian yang intinya adalah mengorbankan diri dengan cara kerelaan ditikam (disakiti) untuk menunjukkan kepatuhan pada Sang Maha Pencipta. Dalam atraksi Ngurek inilah setiap peserta mengekspresikan dirinya, secara simbolik ingin mengorbankan dirinya kepada dewa yang dipujanya. Menusuk badan sendiri jelas menimbulkan rasa sakit secara alamiah. Namun, secara umum cara penyiksaan badan sebagai wujud kecintaan kepada yang dipuja hamper menjadi pola umum dalam setiap sistem kepercayaan, hanya saja bentuknya yang berbeda-beda.
          Dalam agama Hindu ada upacara potong rambut atau juga potong gigi (metatah) sebagai bentuk riil mengorbankan diri. Dalam sistem kepercayaan sebuah suku di Papua bahkan ada mengorbankan diri dengan memotong salah satu jari tangan bila ada keluarganya yang meninggal. Disamping itu ada juga pengikut agama Islam Syiah di Iran dan Irak yang memperingati hari besarnya dengan melukai diri hingga berdarah. Hal yang mirip dengan pengikut Kristen di Filipina Selatan yang merayakan Natal dengan cara memukul-mukul bagian badannya dengan rantai besi. Komunitas Hindu di Malaysia juga punya upacara bernama Tai Pusam, ditandai dengan menusukkan tombak atau jarum ke berbagai bagian tubuhnya hingga darah menetes ke bumi.
          Di desa Tenganan, Karangasem, Bali ada tradisi perang pandan atau lebih dikenal dengan mageret pandan yang merupakan ritual menek truna (meningkat dewasa bagi kaum pria). Mereka yang telah berani ambil bagian dalam upacara mageret pandan sudah sah dianggap dewasa secara adat. Dengan menggenggam daun pandan  yang berduri dan tameng yang terbuat dari rotan, mereka mulai berperang dengan cara menancapkan daun pandan ke tubuh lawan lalu menariknya hingga menimbulkan luka dan darah mengucur dari tubuh. Jelas, ritual ini berada dalam bingkai magis, suatu persembahan yang tidak terhenti pada pembuktian pada kelompok tertentu, tetapi juga kepada kekuatan-kekuatan supranatural. Mengucurkan darah dalam perang pandan adalah salah satu persembahan pengorbanan diri kepada Tuhan.
          Dalam perkembangan selanjutnya, suatu cara pengorbanan tidak hanya meliputi pengorbanan diri sendiri, tetapi memakai media lain dengan cara menyembelih binatang, mempersembahkan darahnya dalam upacara caru. Hewan yang biasa dipakai seperti ayam, itik, anjing belang bungkem, kerbau, dan lain sebagainya.
          Ajaran agama Islam juga mengajarkan umatnya untuk memotong hewan kurban seperti kambing, sapi, dan kerbau pada saat hari raya Idul Adha. Perintah berkurban ini adalah sebagai bentuk penghormatan kepada nabi Ibrahim yang telah merelakan putranya untuk disembelih demi membuktikan kecintaannya terhadap Tuhannya. Karena kesediaannya berkorban itulah kemudian nabi Ibrahim diangkat derajatnya lebih tinggi dan dijadikan contoh oleh umat selanjutnya sampai sekarang.
          Kendati secara praktek pengorbanan kepada dewa-dewa sudah digantikan dengan hewan tertentu, namun dalam seremonial upacara, simbol pengorbanan diri ini masih dilakukan. Salah satu simbol tersebut adalah Ngurek, sebagai bentuk menumpahkan darah sendiri ke bumi. Meskipun tanpa cucuran darah yang menetes dari tubuh pengurek bukanlah halangan untuk meluapkan kerinduan kepada dewa yang disembahnya. Suasana kerauhan (trance) menjadikan bathin berekspresi dengan leluasa dan jati diri pribadi melakukan kepasrahan total pada Sang Maha Pencipta.
2.3 Jenis - Jenis Ngurek
          Dari pelaksanaan Ngurek di berbagai tempat di Bali, maka ngurek dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu:

a.     Ngurek yang termetodiskan atau terpola
Ritual ngurek jenis ini dilakukan dan berlangsung secara teratur dan terkendali, karena menjadi satu rangkaian dengan pelaksanaan upacara piodalan. Umumnya Ngurek dilakukan oleh para pepatih dengan menggunakan keris, tombak, dan alat lainnya.
Ngurek merupakan perwujudan bhakti atau keikhlasan seseorang dan sebagai tanda Tedunnya iring-iringan Ida Bhatara menyaksikan jalannya ritual upacara.
b.    Ngurek yang tak termetodiskan
Ngurek yang tidak harus dilaksanakan pada saat ritual keagamaan. Dalam hal ini Ngurek akan dilakukan sesuai kebutuhan sebagai bukti bahwa dasaran itu benar-benar kerauhan sambil memberikan pesan-pesan niskala saat berlangsungnya piodalan, biasanya berkaitan dengan pelaksanaan upacara, apakah sudah diterima atau masi ada suatu yang kurang dari persembahan yang dilakukan. Pada situasi ini mereka yang Ngurek bisa pemangku, dasaran pepatih, penyungsung pura, anggota karma desa, pragina gamelan, tokoh masyarakat, orang dewasa atau anak-anak, laki atau perempuan. Namun mereka melakukan Ngurek tetap dalam kondisi kerauhan. Kendati keris tajam dihujamkan ke tubuh berkali-kali, tak menyebabkan setetes darah pun mengucur.
c.      Ngurek untuk pertunjukan
Seiring perkembangan dunia pariwisata, selain untuk kebutuhan upacara keagamaan, berkembang juga Ngurek untuk kepentingan hiburan yang dikenal dengan sebutan Barong and Keris Dance. Pertunjukan ini mementaskan seni Arja dengan lakon Calonarang yang menceritakan kisah pertempuran Ni Calonarang (Ratu Natengdirah) dengan Patih Maling Maguna yang dihiasi pertunjukan menikam-nikam sang Rangda sebagai jelmaan Calonarang.
Para penari semata-mata memberikan atraksi hiburan kepada penonton. Mereka membekali diri dengan jimat kekebalan atau mengatur dengan teknik tertentu supaya terkesan kerauhan sungguhan. Bagi wisatawan asing yang tidak mengerti, apayang dilakukan oleh penari itu dianggap Ngurek sungguhan. Padahal itu hanya dilakukan dengan menggunakan teknik dan peralatan tertentu sehingga kelihatan serius.

2.4     Gerakan Ngurek
          Sebelum prosesi Ngurek dimulai, Pemangku Pengenter akan menghaturkan tetabuhan untuk mohon ijin serta keselamatan kehadapan Ida Bhatara.
Untuk pepatih pemula perlu didampingi oleh pepatih senior, karena pada saat mulai kerauhan dia bisa lepas kontrol, sehingga gerakannya jadi tidak karuan. Namun semakin berpengalaman maka ia akan mampu menguasai energi tersebut dan Ngurek menjadi lebih aman.
Apabila Ngurek itu dilakukan dengan tulus dan tidak dibuat-buat, maka gerakan-gerakan yang dimunculkan oleh kekuatan iringan Ida Bhatara akan terjadi dengan hebatnya. Akan tetapi bila ada yang ngurek tidak murni karena kerauhan, maka mereka akan bergerak sesuai kehendak hatinya dan ini bisa membahayan dirinya sendiri.
Gerakan saat Ngurek dan kerauhan sangat ditentukan oleh iringan yang ngelinggihin orang tersebut. Jika yang ngelinggihin itu berkarakter ganas, walaupun pepatih itu usianya sudah tua, tetap saja akan menampilkan gerakan yang beringas.
Pada umumnya gerakan saat Ngurek dipengaruhi juga oleh pribadi pepatih yang kerauhan itu dalam kehidupan sehari-harinya. Sebab, biasanya iringan Ida Bhatara akan mencari wadah yang mendekati karakternya. Yang berkarakter ganas akan memasuki manusia yang memiliki pribadi serupa, demikian pula iringan yang berkarakter kalem akan mencari orang kalem juga.
Ngurek dalam sebuah ritual mempunyai gerakan tersendiri sesuai dengan iringan Ida Bhatara yang ngelinggihin. Ada yang berdiri sambil menancapkan keris ke bagian tubuhnya,ada juga yang bersandar di pelinggih kemudian menikamkan keris ke tubuhnya. Biasanya mereka menggunakan sebilah keris,tetapi ada pula yang menggunakan dua buah keris sekaligus. Ada yang bertingkah sambil merayap, berlari mengelilingi bebantenan, ada juga yang melompat-lompat sambil tertawa-tawa.
2.5     Menangani Orang Ngurek
          Penanganan terhadap orang Ngurek meliputi menjaga, mengawasi, dan bila perlu membantu memegang para pepatih yang sedang Ngurek agar jangan terjatuh atau bergerak berlebihan.
          Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan saat menangani orang Ngurek, diantaranya adalah senioritas para pepatih, gerakan yang ditimbulkan saat Ngurek, iringan Ida Bhatara yang ngelinggihin, kondisi lokasi, dan jenis upacara pada saat Ngurek dilakukan. Jika seorang pepatih sudah senior dan ngaturang ayah dengan tulus ikhlas, maka dia tidak perlu dijaga dan diawasi, karena dia sudah dapat mengontrol segala gerakannya. Namun, bagi para pepatih pemula sangat perlu penjagaan dan pengawasan, karena biasanya dia belum bisa mengontrol dirinya, sehingga gerakannya jadi tak terarah, berlebihan, malah bisa membahayakan diri sendiri maupun orang lain.
          Menangani orang ngurek bagi pepatih yang sudah senior tidak ada masalah walaupun dengan gerakan apapun, biarkan mereka berkreasi dan setelah tiba waktunya, dia akan selesai dengan sendirinya. Kalau sudah selesai (nyineb) kemudian dihaturkan arak berem, lalu diperciki wangsuhpada Ida Bhatara.
          Pepatih yang pada saat ngurek menimbulkan banyak gerakan yang membahayakan seperti sering memindahkan ujung keris dari dada, perut, pinggang, kepala, kelopak mata, pipi, dahi, dan bagian tubuh lainnya biasanya diberi kata-kata peringatan oleh pepatih yang lebih senior atau oleh pemangku. Bila ada pepatih yang bergerak berguling terlalu jauh dan merusak perlengkapan upacara maka biasanya akan ditahan dengan kaki agar dia berhenti berguling.
          Iringan Ida Bhatara yang ngelinggihin pepatih jenisnya bermacam-macam dan hal tersebut akan menimbulkan berbagai bentuk gerakan yang sesuai dengan karakter roh yang memasukinya. Setiap gerakan ini jika dimunculkan secara murni oleh para pepatih, maka akan memperlihatkan suatu gerakan yang indah karena sesuai dengan gerakan ancangan Ida Bhatara yang sedang ngelinggihin. Gerakan yang bersifat murni akan muncul bila Ngurek dilaksanakan dengan tulus ikhlas dan tidak ada maksud untuk pamer kekebalan dan tidak menambah-nambah gerakan buatan sendiri diluar kehendak roh yang merasuki tubuh.
          Lokasi ritual juga mempengaruhi keberadaan pepatih yang sedang Ngurek dan akan berpengaruh juga pada cara penanganannya. Misalnya pada lokasi yang sempit akan memerlukan kemampuan khusus dari para pepatih dan pemangku agar pada saat berdesak-desakan tidak sampai menimbulkan kecelakaan. Begitu juga jika pepatih yang ngaturang ayah jumlahnya cukup banyak diperlukan pengaturan yang bagus agar tidak terjadi saling tabrak antara satu dengan lainnya. Suasana dan kondisi yang kondusif sangat perlu diciptakan, disamping itu juga para petugas pendukung harus tahu dan paham betul dengan tugasnya masing-masing, mampu berkoordinasi dengan baik, sehingga proses Ngurek dapat berjalan dengan lancar.
          Tingkatan atau jenis upacara juga perlu diperhatikan dalam menangani pepatih yang Ngurek. Jika upacaranya tergolong kecil maka jumlah pengurek juga sedikit dengan aura magis yang tidak terlalu kuat, sehingga cara penanganannya juga cukup sederhana. Sebaliknya, jika tingkatan upacaranya tergolong besar, pepatih yang hadir biasanya juga berjumlah banyak, dengan aura magis yang cukup kuat, sehingga penanganannya juga lebih khusus seperti dilengkapi dengan pemotongan beberapa binatang seperti ayam, bebek, dan babi.
2.6     Kecelakaan
          “Sepandai-pandai tupai melompat akhirnya akan jatuh juga”, begitulah bunyi salah satu peribahasa, yang artinya walau kita sudah mahir melakukan sesuatu tapi suatu saat pasti akan menemukan kegagalan. Begitu juga pada ritual Ngurek, walaupun sudah dipersiapkan dengan matang mungkin saja terjadi kecelakaan, seperti saat Ngurek ada pepatih yang terluka oleh keris yang dipakainya. Ada beberapa hal yang bisa menyebabkan terjadinya kecelakaan saat Ngurek, diantaranya adalah :
          Pertama, pepatih yang akan ngaturang ayah belum mencapai kerauhan total, tetapi karena peserta yang lain sudah kerauhan dan mulai melakukan Ngurek, maka dia ikut Ngurek dalam kondisi kerauhan yang belum sempurna, hal ini dapat mengakibatkan kecelakaan yang berakibat fatal bagi dirinya sendiri.
          Kedua, perasaan ragu dan tidak ikhlas saat ngaturang ayah, akibat permasalahan pribadi dari seorang pepatih akan mempengaruhi kondisi kejiwaan dan emosinya. Hal ini akan menyebabkan ancangan Ida Bhatara yang ngelinggihin tidak dapat masuk dengan sempurna, kekebalan tubuh pada saat Ngurek jadi tidak sempurna, maka kemungkinan terluka saat Ngurek bisa terjadi.
          Ketiga, badan pepatih dalam keadaan leteh atau kotor dapat menyebabkan kecelakaan saat Ngurek. Leteh ini bisa diakibatkan karena melanggar pantangan sebagai pepatih. Salah satu contohnya adalah tidak datang ke tempat-tempat mesum, tidak berselingkuh, tidak makan atau minum yang terlarang, dan lain sebagainya. Hal itu jika dilanggar akan menyebabkan badan menjadi leteh atau kotor. Pada saat kerauhan, ancangan Ida Bhatara dengan energi supranaturalnya masuk ke tubuh pepatih. Namun, karena dalam kondisi kotor, maka tubuhnya tidak sanggup menampung energi yang masuk, sehingga tubuh tidak akan menampakkan kekebalannya.
          Keempat, kesombongan seorang pepatih dapat mengakibatkan kecelakaan. Misalnya, karena dalam kesehariannya biasa menggunakan jimat atau ilmu kekebalan, maka dia merasa yakin dan sesumbar tidak akan tembus senjata saat ditikam. Karena terlalu yakin dengan kekebalan dirinya sendiri mengakibatkan energi dari roh tidak bisa masuk dengan sempurna, akhirnya kekebalan yang dibangga-banggakan tidak bisa berfungsi, dan kecelakaan pun tidak bisa dihindari. Oleh sebab itu, pada saat Ngurek atau Ngunying harus didasari dengan sikap pasrah, tulus ikhlas, percaya kepada Ida Bhatara, sehingga jimat dan ilmu kekebalan buatan manusia tidak diperlukan lagi.
          Kelima, kecelakaan dapat terjadi karena salah teknik. Bagi pepatih pemula yang merasa dirinya tidak dalam kondisi bagus atau kerauhannya tidak sempurna, cara Ngurek yang aman adalah dengan menekankan ujung keris pada satu titik saja pada bagian tubuh. Namun, untuk pepatih senior yang sudah percaya diri akan kerauhan total, maka bisa saja menusukkan keris ke bagian tubuh yang mana saja tanpa perlu takut terluka.
          Keenam, kecelakaan juga bisa terjadi akibat kurang lengkapnya sarana upacara. Meskipun para pepatih sudah memenuhi semua persyaratan yang ditentukan, namun kecelakaan saat Ngurek bisa saja terjadi sebagai peringatan kalau ada upakara yang belum lengkap. Biasanya kecelakaan seperti ini bermakana teguran, dan luka yang terjadi juga tidak terlalu serius, hanya sebatas luka ringan saja.
2.7 Pencegahan
          Seperti dalam pembahasan sebelumnya, kecelakaan dalam ritual Ngurek dapat disebabkan oleh beberapa hal. Untuk mencegah terjadinya kecelakaan saat Ngurek itu, maka penyebabnya perlu ditanggulangi atau dicari jalan keluarnya terlebih dahulu. Setelah kita mengenali penyebab terjadinya kecelakaan saat Ngurek, maka untuk mencegahnya bisa dilakukan dengan lebih mudah asalkan ada kemauan, serta dilakukan dengan tulus ikhlas. Diantaranya yang dapat dilakukan untuk mencegah kecelakaan Ngurek adalah :
          Pertama, untuk mencegah terjadinya luka yang diakibatkan oleh pepatih yang belum siap atau belum kerauhan total,sudah seharusnya para pepatih yang akan Ngurek tersebut mempersiapkan dirinya sejak awal untuk total ngaturang ayah selama upacara berlangsung. Lakukan semua dengan pasrah dan selalu memanjatkan doa kepada Ida Bhatara sesuhunan setiap akan memulai Ngurek. Hal ini sebagai tanda bahwa setiap tahapan-tahapan upacara harus diikuti sepenuh hati dan selalu ada dalam keadaan siap dan waspada. Begitu juga jika akan Ngurek sudah semestinya setiap pepatih mempersiapkan jiwa dan raganya untuk ngaturang ayah.
          Kedua, bila ketika akan Ngurek ada perasaan ragu-ragu dan tidak tulus, maka daripada menimbulkan dampak buruk lebih baik tidak usah ngaturang ayah bila kondisi tidak mendukung. Kalau sudah ke pura hendaknya kita satukan pikiran agar focus pada Ida Bhatara. Itulah sebabnya kenapa hampir seluruh pintu masuk ke utama mandala berbentuk Candi Kurung, bukan Candi Bentar, yang bermakna rwa bhineda dalam pikiran sudah bersatu padu menuju satu tempat ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa.
          Ketiga, Untuk mencegah agar badan pepatih tidak leteh atau kotor, maka setiap pepatih harus rajin membersihkan diri, baik secara sekala maupun secara niskala. Salah satu contohnya adalah dengan melakukan panglukatan yaitu mandi dengan dilengkapi dengan sarana upakara. Disamping itu untuk menjaga kesucian diri, maka perlu dihindari tempat-tempat yang dilarang oleh ajaran agama, seperti diskotik, kafe remang-remang, tempat prostitusi, tempat judi, dan lain-lainnya. Juga perlu dihindari pikiran serta ucapan yang bersifat negatif, yang bisa merusak jiwa.
          Keempat, seorang pepatih harus bersifat rendah hati, tidak boleh sombong dalam menunjukkan kekuatan dan kekebalan, karena Ngurek merupakan serangkaian ritual upacara keagamaan, yang tidak boleh disamakan dengan Ngurek yang hanya bersifat hiburan semata. Jadi seorang pepatih yang melakukan atraksi Ngurek bukanlah untuk memperlihatkan kebolehannya memainkan keris dan senjata tajam lainnya, akan tetapi proses Ngurek itu harus dilakukan dengan tujuan pengorbanan dan menyerahkan diri kepada Tuhan.
          Kelima, mengenai teknik Ngurek, masing-masing pepatih punya gaya sendiri-sendiri. Asalkan dia mau memasrahkan dirinya saat Ngurek, maka akan mudah mengalami kerauhan sempurna, sehingga saat demikian roh yang memasuki tubuh akan memberikan kekuatan lebih dan walau ke bagian tubuh mana saja keri ditusukkan tidak akan menimbulkan luka.
          Keenam, untuk menghindari kekurangan upakara, maka perlu pedoman untuk masing-masing pura, berupa buku yang memuat segala sesuatu tentang ketentuan di setiap pura, baik mengenai upakara maupun upacara serta tata cara pelaksanaannya. Dengan adanya panduan seperti itu maka diharapkan tidak ada sarana dan kelengkapan upacara yang dilupakan.


2 komentar: