Minggu, 23 Januari 2011



NGUREK
“ANTARA SENI  TRADISI DAN MAGIS”


OLEH :
ERNO
09.8.03.51.30.15.1453


UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR
KAMPUS II A AMLAPURA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (FKIP) MATEMATIKA
2011

KATA PENGANTAR

          Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ NGUREK : antara seni tradisi dan magis”.
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas akhir semester mata kuliah Agama, dimana bahannya kami peroleh dari membaca beberapa sumber,baik dari buku,media cetak,media elektronik,dan internet.
Kami berharap dengan adanya makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.Walaupun demikian, kami juga sangat menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Maka kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat diperlukan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Tuhan Yang Maha Esa meridhoi kita semua.

                                                                   Amlapura,  Januari 2011

  Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................       i
DAFTAR ISI.......................................................................................       ii
BAB I   PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah................................................     1
1.2  Rumusan Masalah........................................................      2
1.3  Tujuan Penulisan..........................................................      3
1.4  Manfaat Penulisan........................................................      3
1.5  Metode Penulisan.........................................................     4 
BAB II  ISI
2.1  Pengertian Ngurek.......................................................      5
2.2  Makna Ritual Ngurek...................................................      9
2.3  Jenis-Jenis Ngurek.......................................................    13
2.4  Gerakan Ngurek..........................................................    16
2.5  Cara Menangani Orang Ngurek....................................    17
2.6  Kecelakaan Ngurek.....................................................    20
2.7  Pencegahan Kecelakaan Ngurek..................................    23

BAB III PENUTUP
3.1  KESIMPULAN..........................................................    27
3.2  SARAN......................................................................    28

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1            Latar Belakang
Disamping keindahan alam yang sudah terkenal di dunia internasional, Bali terkenal dengan ragam budaya dan tradisi yang beraneka macam, keunikan tradisi tersebut terkadang membuat orang yang melihatnya berdecak penuh kekaguman. Salah satu tradisi yang menarik perhatian adalah ritual “Ngurek” yang sering dipertunjukkan dalam prosesi upacara keagamaan di Bali. Ritual Ngurek banyak menimbulkan keingintahuan karena dalam pelaksanaannya memadukan unsur seni dan mistis. Orang yang melakukan prosesi Ngurek seakan dibantu oleh kekuatan gaib, dalam keadaan tidak sadar melakukan hal-hal yang tidak masuk akal. Orang yang sedang Ngurek akan menusuk anggota tubuhnya sendiri dengan senjata tajam, tetapi walau demikian tak sedikitpun dia terluka.
Karena keunikan tradisi ini membuat minat wisatawan untuk menonton menjadi besar, maka mulailah dikembangkan Ngurek untuk pertunjukan pariwisata, yang dilaksanakan bukan untuk ritual upacara keagamaan, namun sebatas pertunjukan seni bagi para wisatawan.
1.2            Rumusan Masalah
Dari sedikit ulasan tentang latar belakang tradisi Ngurek di atas, maka akan timbul rasa penasaran mengenai tradisi yang unik ini. Berbagai pertanyaan muncul seperti harapan orang yang sedang lapar menginginkan makanan lezat, bagaikan orang kehausan yang merindukan segelas air pelepas dahaga. Maka untuk memperoleh jawaban tentang keberadaan tradisi Ngurek yang misterius, dapat dirumuskan masalah-masalah yang akan dibahas dalam makalah ini antara lain :
1.2.1    Apa sebenarnya pengertian dari Ngurek ?
1.2.2    Apa makna dari ritual Ngurek tersebut ?
1.2.3    Apa saja jenis-jenis dari Ngurek ?
1.2.4    Seperti apa gerakan pada saat Ngurek ?
1.2.5    Bagaimana cara menangani orang yang sedang Ngurek ?
1.2.6    Apa saja yang bisa menyebabkan terjadinya kecelakaan pada saat melakukan ritual Ngurek ?
1.2.7    Apa yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya kecelakaan pada saat Ngurek ?



1.3            Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.3.1    Untuk mengetahui pengertian dari ritual Ngurek secara benar.
1.3.2    Untuk mengetahuai apa makna dibalik pelaksanaan Ngurek.
1.3.3    Agar kita mengetahui apa saja jenis-jenis dari ritual Ngurek.
1.3.4    Supaya kita bisa tahu bagaimana gerakan dari orang yang sedang Ngurek.
1.3.5    Untuk mengetahui cara menangani orang yang sedang Ngurek.
1.3.6    Agar kita mengetahui apa saja yang bisa menyebabkan terjadinya kecelakaan pada saat ritual Ngurek.
1.3.7    Untuk mengetahui bagaimana cara mencegah kecelakaan saat Ngurek.

1.4            Manfaat Penulisan
Manfaat yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini adalah agar setelah membaca tulisan ini orang akan mendapat pengetahuan tambahan tentang keragaman kebudayaan Bali pada umumnya serta keunikan tradisi Ngurek pada khususnya. Sehingga masyarakat bali bisa menyadari keunikan budaya mereka, yang nantinya akan menumbuhkan rasa memiliki budaya Bali, serta keinginan untuk melestarikannya demi masa depan kebudayaan Bali.
1.5            Metode Penulisan
Metode yang kami pakai dalam penulisan makalah ini antara lain adalah :
1.5.1    Mengumpulkan beberapa ide atau gagasan awal.
1.5.2    Memilih salah satu ide atau gagasan yang tepat.
1.5.3    Mengubah ide menjadi topik dan judul tulisan.
1.5.4    Membuat rancangan tulisan.
1.5.5    Mencari sumber bacaan yang sesuai baik dari buku-buku, maupun dari internet.
1.5.6    Membuat intisari-intisari dari sumber bacaan yang telah diperoleh.
1.5.7    Menyusun intisari-intisari tersebut sesuai dengan kerangka tulisan yang telah dibuat.
1.5.8    Mengembangkan intisari bacaan sesuai dengan data, fakta, informasi, dan analisa tambahan sehingga diperoleh tulisan yang lengkap.




BAB II
ISI

2.1.    Pengertian Ngurek
          Tradisi Ngurek atau Ngunying hingga kini masih dilestarikan oleh masyarakat Bali. Tradisi tersebut terdapat di sejumlah daerah di Bali. Tradisi ini umumnya berkaitan erat dengan ritual keagamaan. Bahkan, di sejumlah desa adat di Bali tradisi ini wajib dilangsungkan.
          Tradisi Ngurek di Bali merupakan wujud bhakti seseorang kepada Sang Hyang Widhi Wasa. Atraksi menusuk diri dengan keris ini berlangsung ketika para pelaku berada dalam keadaan kerauhan (trance). Ini sebuah keunikan sekaligus misteri yang sulit dijelaskan oleh akal sehat, namun amat biasa bagi orang Bali.
          Ngurek  berasal dari kata ‘ urek ’ yang berarti lobangi atau tusuk, jadi Ngurek dapat diartikan berusaha melobangi atau menusuk bagian tubuh sendiri dengan keris,tombak,atau alat lainnya saat berada dalam kondisi kerauhan. Karena Ngurek dilakukan dalam kondisi kerauhan, maka roh lain yang memasuki tubuh akan memberi kekuatan, sehingga menjadi kebal.
          Tradisi Ngurek biasa dilakukan di luar areal pura utama. Sebelum Ngurek dilakukan, biasanya Barong dan Rangda serta orang yang biasa Ngurek (juru urek) yang juga biasa disebut dengan ‘pepatih’ keluar dari kompleks pura utama dan mengelilingi wantilan pura sebanyak 3 kali. Saat melakukan hal itulah, para pepatih mengalami titik kulminasi spiritual tertinggi dan keris pun langsung ditancapkan ke bagian tubuhnya tanpa terluka sedikitpun. Ngurek sendiri memiliki gaya masing-masing, ada yang berdiri sambil menancapkan keris ke bagian tubuhnya dan ada pula yang bersandar di pelinggih kemudian menancapakn keris ke tubuhnya sendiri. Setelah upacara selesai, para pelaku Ngurek kembali ke areal pura utama.
          Menurut sejarahnya, tradisi Ngurek bersumber dari ritual keagamaan di Bali. Biasanya dilakukan saat upacara Dewa Yadnya yang disebut Ngeramen di pura, sanggah (merajan) dan paibon. Prosesi sakralnya berbeda-beda antara daerah satu dengan lainnya.
          Tradisi Ngurek tidak hanya dilakukan di Bali, tapi juga terdapat di daerah lain. Misalnya di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan, kebiasaan ini dilakukan oleh mereka yang disebut juru doa, mirip dengan balian atau dukun. Para juru doa ini diundang untuk memimpin hajatan. Manakala ritual berlangsung, juru doa akan mengalami kerauhan dan langsung mencabut keris kecil yang terselip di pinggangnya kemudian menusuk telapak tangannya sendiri, berlanjut menikam dada dan perutnya. Fenomena sejenis juga dapat disaksikan dalam kesenian tradisional suku Jambi yang menampilkan tarian berkolaborasi dengan budaya magis. Pada puncak tarian si penari wanita akan menusukkan dua pedang yang tadi dipakai menari ke tubuhnya sendiri dalam keadaan kerauhan.
          Pada masyarakat Hindu India, khususnya penyembah Durga Ma dalam perayaan Tiruwila juga biasa menampilkan atraksi serupa. Hanya saja mereka benar-benar menusuk bagian anggota tubuhnya seperti lidah, pipi, tangan, dan perut mereka  hingga tembus dengan benda-benda tajam. Adegan ini sebenarnya merupakan satu aktivitas ritual bagi pemuja sakti, dengan menghadirkan kekuatan supranatural, roh-roh gaib untuk membantu atraksi, sehingga tidak sampai membahayakan nyawa mereka.
          Kondisi kerauhan (trance) bisa diupayakan, namun sulit diduga mengenai waktu maupun orang yang mungkin akan kerauhan. Orang yang disiapkan untuk kerauhan bisa jadi tidak mengalami apa-apa. Sebaliknya justru pada partisipan lainnya yang mengalami kerauhan. Trance dalam Ngurek biasanya terjadi atau diupayakan dengan prosesi ritual khusus. Untuk mencapai klimaks kerauhan, mereka harus melakukan serangkaian ritual. Tahap-tahap itu secara garis besar dapat dibagi tiga yakni Nusdus, Masolah, Ngaluwur. Nusdus adalah merangsang para pelaku ngurek dengan asap asap yang beraroma harum menyengat. Masolah merupakan tahap menari dengan iringan lagu-lagu dan koor kecak atau bunyi gamelan. Sedangkan Ngaluwur berarti mengembalikan pelaku Ngurek pada jati dirinya.
          Dari fenomena Ngurek yang berkembang saat ini dan membandingkannya dengan tradisi serupa di sejumlah ritual Hindu di tempat lain, atau pada keyakinan agama lain di suatu daerah, maka Ngurek merupakan perpaduan antara dua hal. Pertama. Tradisi ini merupakan kebiasaan masyarakat Bali Purba dari zaman animisme-dinamisme, dimana saat upacara mengundang roh leluhur dilakukan, para roh diminta untuk berkenan memasuki badan orang-orang yang telah ditunjuk. Bagi masyarakat animisme-dinamisme, kerauhan yang diikuti atraksi Ngurek dipercaya sebagai sebuah tanda, bahwa roh-roh yang diundang telah hadir di sekitar mereka. Kedua. Tradisi Ngurek bagi masyarakat Hindu Bali di beberapa daerah memiliki fungsi mirip dengan kepercayaan animisme, tetapi bedanya tidak dalam rangka mengundang roh leluhur, namun mengundang Ida Bhatara dan para Rencang-Nya untuk berkenan menerima persembahan ritual saat upacara piodalan. Jika orang-orang yang ditunjuk sudah kerauhan dan mulai Ngurek, maka masyarakat bisa mengetahui dan meyakini kalau Ida Bhatara sudah tedun dan berkenan katuran piodalan. Dengan turunnya Ida Bhatara ke marcapada (dunia), maka umat yang mengikuti prosesi ritual piodalan ini kian mantap dengan semangat bhaktinya.

2.2     Makna Ritual Ngurek
          Ngurek merupakan bagian dari yadnya atau pengorbanan yang tulus ikhlas seorang hamba kepada Tuhannya. Hampir semua agama memiliki cara tersendiri dalam melakukan pengorbanan diri sebagai tanda bhakti kepada Tuhan. Seperti misalnya ketentuan selibat (membujang) dalam ajaran agama Kristen, kewajiban berpuasa atau tidak makan dan minum dari pagi hari sampai sore hari selama satu bulan dalam agama Islam, meditasi dan ajaran vegetarian dalam agama Budha, kemudian dalam Hindu sendiri banyak jenis ajaran pengorbanan diri, mulai dari puasa, yoga, brahmachari, Ngurek, dan sebagainya.
          Dalam sebuah ritual upacara di Bali, selain dengan mempersembahkan berbagai bentuk bebantenan, ada juga komponen persembahan lain, seperti misalnya tarian, musik atau gamelan, kidung, dan beragam bentuk persembahan lainnya. Ngurek sendiri merupakan persembahan dalam bentuk tari-tarian yang intinya adalah mengorbankan diri dengan cara kerelaan ditikam (disakiti) untuk menunjukkan kepatuhan pada Sang Maha Pencipta. Dalam atraksi Ngurek inilah setiap peserta mengekspresikan dirinya, secara simbolik ingin mengorbankan dirinya kepada dewa yang dipujanya. Menusuk badan sendiri jelas menimbulkan rasa sakit secara alamiah. Namun, secara umum cara penyiksaan badan sebagai wujud kecintaan kepada yang dipuja hampir menjadi pola umum dalam setiap sistem kepercayaan, hanya saja bentuknya yang berbeda-beda.
          Dalam agama Hindu ada upacara potong rambut atau juga potong gigi (metatah) sebagai bentuk riil mengorbankan diri. Dalam sistem kepercayaan sebuah suku di Papua bahkan ada yang mengorbankan diri dengan memotong salah satu jari tangan bila ada keluarganya yang meninggal. Disamping itu ada juga pengikut agama Islam Syiah di Iran dan Irak yang memperingati hari besarnya dengan melukai diri hingga berdarah. Hal yang mirip dengan pengikut Kristen di Filipina Selatan yang merayakan Natal dengan cara memukul-mukul bagian badannya dengan rantai besi. Komunitas Hindu di Malaysia juga punya upacara bernama Tai Pusam, ditandai dengan menusukkan tombak atau jarum ke berbagai bagian tubuhnya hingga darah menetes ke bumi.
          Di desa Tenganan, Karangasem, Bali ada tradisi perang pandan atau lebih dikenal dengan Mageret Pandan yang merupakan ritual menek truna (meningkat dewasa bagi kaum pria). Mereka yang telah berani ambil bagian dalam upacara mageret pandan sudah sah dianggap dewasa secara adat. Dengan menggenggam daun pandan  yang berduri dan tameng yang terbuat dari rotan, mereka mulai berperang dengan cara menancapkan daun pandan ke tubuh lawan lalu menariknya hingga menimbulkan luka dan darah mengucur dari tubuh. Jelas, ritual ini berada dalam bingkai magis, suatu persembahan yang tidak terhenti pada pembuktian pada kelompok tertentu, tetapi juga kepada kekuatan-kekuatan supranatural. Mengucurkan darah dalam perang pandan adalah salah satu persembahan pengorbanan diri kepada Tuhan. Meski kelihatannya sangat mengerikan, tetapi karena dilakukan atas dasar kecintaan dan kerelaan berkorban kepada Tuhan, maka rasa sakit di tubuh sama sekali tidak dirasakan oleh para peserta perang pandan tersebut.
          Dalam perkembangan selanjutnya, suatu cara pengorbanan tidak hanya meliputi pengorbanan diri sendiri, tetapi memakai media lain dengan cara menyembelih binatang, mempersembahkan darahnya dalam upacara caru. Hewan yang biasa dipakai seperti ayam, itik, anjing belang bungkem, kerbau, dan lain sebagainya.
          Ajaran agama Islam juga mengajarkan umatnya untuk memotong hewan kurban seperti kambing, sapi, dan kerbau pada saat hari raya Idul Adha. Perintah berkurban ini adalah sebagai bentuk penghormatan kepada Nabi Ibrahim yang telah merelakan putranya untuk disembelih demi membuktikan kecintaannya terhadap Tuhannya. Pada saat putranya yang bernama Ismail masih kecil dan sedang lucu-lucunya, Tuhan menguji keimanan Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim diperintahkan memotong leher anaknya sendiri untuk dikorbankan pada Tuhan. Sebagai seorang ayah yang menyayangi anaknya tentunya hal tersebut sangat sulit dilakukan. Namun, karena kecintaanya terhadap Tuhan melebihi rasa sayangnya kepada anaknya sendiri, maka Nabi Ibrahim bersedia memotong leher anak kandungnya, tapi akhirnya diganti dengan seekor domba oleh Tuhan, dan anaknyapun selamat. Karena kesediaannya berkorban itulah kemudian Nabi Ibrahim diangkat derajatnya lebih tinggi dan dijadikan contoh oleh umat selanjutnya sampai sekarang.
          Kendati secara praktek pengorbanan kepada dewa-dewa sudah digantikan dengan hewan tertentu, namun dalam seremonial upacara, simbol pengorbanan diri ini masih dilakukan. Salah satu simbol tersebut adalah Ngurek, sebagai bentuk menumpahkan darah sendiri ke bumi. Meskipun tanpa cucuran darah yang menetes dari tubuh pengurek, bukanlah halangan untuk meluapkan kerinduan kepada dewa yang disembahnya. Suasana kerauhan (trance) menjadikan bathin berekspresi dengan leluasa dan jati diri pribadi melakukan kepasrahan total pada Sang Maha Pencipta.

2.3 Jenis - Jenis Ngurek
          Dari pelaksanaan Ngurek di berbagai tempat di Bali, maka Ngurek dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu:
a.     Ngurek yang termetodiskan atau terpola
Ritual Ngurek jenis ini dilakukan dan berlangsung secara teratur dan terkendali, karena menjadi satu rangkaian dengan pelaksanaan upacara piodalan. Umumnya Ngurek dilakukan oleh para pepatih dengan menggunakan keris, tombak, dan alat lainnya.
Ngurek jenis ini merupakan perwujudan bhakti atau keikhlasan seseorang dan sebagai tanda Tedunnya iring-iringan Ida Bhatara menyaksikan jalannya ritual upacara.

b.    Ngurek yang tak termetodiskan
Ngurek yang tidak harus dilaksanakan pada saat ritual keagamaan. Dalam hal ini Ngurek akan dilakukan sesuai kebutuhan sebagai bukti bahwa dasaran itu benar-benar kerauhan sambil memberikan pesan-pesan niskala saat berlangsungnya piodalan, biasanya berkaitan dengan pelaksanaan upacara, apakah sudah diterima atau masih ada suatu yang kurang dari persembahan yang dilakukan. Pada situasi ini mereka yang Ngurek bisa pemangku, dasaran pepatih, penyungsung pura, anggota krama desa, pragina gamelan, tokoh masyarakat, orang dewasa atau anak-anak, laki atau perempuan. Namun mereka melakukan Ngurek tetap dalam kondisi kerauhan. Kendati keris tajam dihujamkan ke tubuh berkali-kali, tak menyebabkan setetes darah pun mengucur. Itu semua bisa terjadi akibat adanya kekuatan-kekuatan lain yang masuk ke tubuh orang tersebut (kerauhan / trance).

c.      Ngurek untuk pertunjukan
Seiring perkembangan dunia pariwisata di Bali, selain untuk kebutuhan upacara keagamaan di pura, berkembang juga Ngurek untuk kepentingan hiburan yang dikenal dengan sebutan Barong and Keris Dance. Pertunjukan ini mementaskan seni Arja dengan lakon Calonarang yang menceritakan kisah pertempuran Ni Calonarang (Ratu Natengdirah) dengan Patih Maling Maguna yang dihiasi pertunjukan menikam-nikam sang Rangda sebagai jelmaan Calonarang.
Para penari semata-mata memberikan atraksi hiburan kepada penonton. Mereka membekali diri dengan jimat kekebalan atau mengatur dengan teknik tertentu supaya terkesan kerauhan sungguhan. Bagi wisatawan asing yang tidak mengerti, apa yang dilakukan oleh penari itu dianggap Ngurek sungguhan. Padahal itu hanya dilakukan dengan menggunakan teknik dan peralatan tertentu sehingga kelihatan serius, keris yang digunakan Ngurek pun dipilih dari jenis khusus yang mudah bengkok dan tidak membahayakan. Meski demikian, tetap dipergunakan perlengkapan upacara seperti banten, pemangku, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan selama pertunjukan.
2.4     Gerakan Ngurek
          Sebelum prosesi Ngurek dimulai, Pemangku Pengenter akan menghaturkan tetabuhan untuk mohon ijin serta keselamatan kehadapan Ida Bhatara.
Untuk pepatih pemula perlu didampingi oleh pepatih senior, karena pada saat mulai kerauhan dia bisa lepas kontrol, sehingga gerakannya jadi tidak karuan. Namun semakin berpengalaman maka ia akan mampu menguasai energi tersebut dan Ngurek menjadi lebih aman.
Apabila Ngurek itu dilakukan dengan tulus dan tidak dibuat-buat, maka gerakan-gerakan yang dimunculkan oleh kekuatan iringan Ida Bhatara akan terjadi dengan hebatnya. Akan tetapi bila ada yang Ngurek tidak murni karena kerauhan, maka mereka akan bergerak sesuai kehendak hatinya dan ini bisa membahayakan dirinya sendiri.
Gerakan saat Ngurek dan kerauhan sangat ditentukan oleh iringan yang ngelinggihin orang tersebut. Jika yang ngelinggihin itu berkarakter ganas, walaupun pepatih itu usianya sudah tua, tetap saja akan menampilkan gerakan yang beringas.
Pada umumnya gerakan saat Ngurek dipengaruhi juga oleh pribadi pepatih yang kerauhan itu dalam kehidupan sehari-harinya. Sebab, biasanya iringan Ida Bhatara akan mencari wadah yang mendekati karakternya. Yang berkarakter ganas akan memasuki manusia yang memiliki pribadi serupa, demikian pula iringan yang berkarakter kalem akan mencari orang kalem juga.
Ngurek dalam sebuah ritual mempunyai gerakan tersendiri sesuai dengan iringan Ida Bhatara yang ngelinggihin. Ada yang berdiri sambil menancapkan keris ke bagian tubuhnya,ada juga yang bersandar di pelinggih kemudian menikamkan keris ke tubuhnya. Biasanya mereka menggunakan sebilah keris,tetapi ada pula yang menggunakan dua buah keris sekaligus. Ada yang bertingkah sambil merayap, berlari mengelilingi bebantenan, ada juga yang melompat-lompat sambil tertawa-tawa.

2.5     Cara Menangani Orang Sedang Ngurek
          Penanganan terhadap orang Ngurek meliputi menjaga, mengawasi, dan bila perlu membantu memegang para pepatih yang sedang Ngurek agar jangan terjatuh atau bergerak berlebihan.
          Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan saat menangani orang Ngurek, diantaranya adalah senioritas para pepatih, gerakan yang ditimbulkan saat Ngurek, iringan Ida Bhatara yang ngelinggihin, kondisi lokasi, dan jenis upacara pada saat Ngurek dilakukan.
Jika seorang pepatih sudah senior dan ngaturang ayah dengan tulus ikhlas, maka dia tidak perlu dijaga dan diawasi, karena dia sudah dapat mengontrol segala gerakannya. Namun, bagi para pepatih pemula sangat perlu penjagaan dan pengawasan, karena biasanya dia belum bisa mengontrol dirinya, sehingga gerakannya jadi tak terarah, berlebihan, malah bisa membahayakan diri sendiri maupun orang lain di sekitarnya, baik itu sesama pengurek maupun penonton yang menyaksikan upacara tersebut.
          Menangani orang Ngurek bagi pepatih yang sudah senior tidak ada masalah walaupun dengan gerakan apapun, biarkan mereka berkreasi dan setelah tiba waktunya, dia akan selesai dengan sendirinya. Kalau sudah selesai (nyineb) kemudian dihaturkanlah arak berem, lalu diperciki wangsuhpada Ida Bhatara.
          Pepatih yang pada saat Ngurek menimbulkan banyak gerakan yang membahayakan seperti sering memindahkan ujung keris dari dada, perut, pinggang, kepala, kelopak mata, pipi, dahi, dan bagian tubuh lainnya biasanya diberi kata-kata peringatan oleh pepatih yang lebih senior atau oleh pemangku. Bila ada pepatih yang bergerak berguling terlalu jauh dan merusak perlengkapan upacara maka biasanya akan ditahan dengan kaki agar dia berhenti berguling.
          Iringan Ida Bhatara yang ngelinggihin pepatih jenisnya bermacam-macam dan hal tersebut akan menimbulkan berbagai bentuk gerakan yang sesuai dengan karakter roh yang memasukinya. Setiap gerakan ini jika dimunculkan secara murni oleh para pepatih, maka akan memperlihatkan suatu gerakan yang indah karena sesuai dengan gerakan ancangan Ida Bhatara yang sedang ngelinggihin. Gerakan yang bersifat murni akan muncul bila Ngurek dilaksanakan dengan tulus ikhlas dan tidak ada maksud untuk pamer kekebalan dan tidak menambah-nambah gerakan buatan sendiri diluar kehendak roh yang merasuki tubuh.
          Lokasi ritual juga mempengaruhi keberadaan pepatih yang sedang Ngurek dan akan berpengaruh juga pada cara penanganannya. Misalnya pada lokasi yang sempit akan memerlukan kemampuan khusus dari para pepatih dan pemangku agar pada saat berdesak-desakan tidak sampai menimbulkan kecelakaan. Begitu juga jika pepatih yang ngaturang ayah jumlahnya cukup banyak diperlukan pengaturan yang bagus agar tidak terjadi saling tabrak antara satu dengan lainnya. Suasana dan kondisi yang kondusif sangat perlu diciptakan, disamping itu juga para petugas pendukung harus tahu dan paham betul dengan tugasnya masing-masing, mampu berkoordinasi dengan baik, sehingga proses Ngurek dapat berjalan dengan lancar.
          Tingkatan atau jenis upacara juga perlu diperhatikan dalam menangani pepatih yang Ngurek. Jika upacaranya tergolong kecil maka jumlah pengurek juga sedikit dengan aura magis yang tidak terlalu kuat, sehingga cara penanganannya juga cukup sederhana. Sebaliknya, jika tingkatan upacaranya tergolong besar, pepatih yang hadir biasanya juga berjumlah banyak, dengan aura magis yang cukup kuat, sehingga penanganannya juga lebih khusus seperti dilengkapi dengan pemotongan beberapa binatang seperti ayam, bebek, dan babi.

2.6     Kecelakaan Ngurek
          “Sepandai-pandai tupai melompat akhirnya akan jatuh juga”, begitulah bunyi salah satu peribahasa, yang artinya walau kita sudah mahir melakukan sesuatu tapi suatu saat pasti akan menemukan kegagalan. Mungkin saja kegagalan tersebut disebabkan kelalaian sendiri, ataupun karena kesalahan orang lain. Begitu juga pada ritual Ngurek, walaupun sudah dipersiapkan dengan matang mungkin saja terjadi kecelakaan, seperti saat Ngurek ada pepatih yang terluka oleh keris yang dipakainya.
Ada beberapa hal yang bisa menyebabkan terjadinya kecelakaan saat Ngurek, diantaranya adalah :
          Pertama, pepatih yang akan ngaturang ayah belum mencapai kerauhan total, tetapi karena peserta yang lain sudah kerauhan dan mulai melakukan Ngurek, maka dia ikut Ngurek dalam kondisi kerauhan yang belum sempurna, mungkin karena merasa malu kalau dianggap tidak dipilih Ida Bhatara. Hal ini dapat mengakibatkan kecelakaan yang berakibat fatal bagi dirinya sendiri.
          Kedua, perasaan ragu dan tidak ikhlas saat ngaturang ayah, akibat permasalahan pribadi dari seorang pepatih akan mempengaruhi kondisi kejiwaan dan emosinya. Hal ini akan menyebabkan ancangan Ida Bhatara yang ngelinggihin tidak dapat masuk dengan sempurna, kekebalan tubuh pada saat Ngurek jadi tidak sempurna, maka kemungkinan terluka saat Ngurek bisa terjadi.
          Ketiga, badan pepatih dalam keadaan leteh atau kotor dapat menyebabkan kecelakaan saat Ngurek. Leteh ini bisa diakibatkan karena melanggar pantangan sebagai pepatih. Salah satu contohnya adalah tidak datang ke tempat-tempat mesum, tidak berselingkuh, tidak makan atau minum yang terlarang, dan lain sebagainya. Hal itu jika dilanggar akan menyebabkan badan menjadi leteh atau kotor. Pada saat kerauhan, ancangan Ida Bhatara dengan energi supranaturalnya masuk ke tubuh pepatih. Namun, karena dalam kondisi kotor, maka tubuhnya tidak sanggup menampung energi yang masuk, sehingga tubuh tidak akan menampakkan kekebalannya.
          Keempat, kesombongan seorang pepatih dapat mengakibatkan kecelakaan. Misalnya, karena dalam kesehariannya biasa menggunakan jimat atau ilmu kekebalan, maka dia merasa yakin dan sesumbar tidak akan tembus senjata saat ditikam. Karena terlalu yakin dengan kekebalan dirinya sendiri mengakibatkan energi dari roh tidak bisa masuk dengan sempurna, akhirnya kekebalan yang dibangga-banggakan tidak bisa berfungsi, dan kecelakaan pun tidak bisa dihindari. Oleh sebab itu, pada saat Ngurek atau Ngunying harus didasari dengan sikap pasrah, tulus ikhlas, percaya sepenuhnya kepada Ida Bhatara, sehingga jimat dan ilmu kekebalan buatan manusia tidak diperlukan lagi.
          Kelima, kecelakaan dapat terjadi karena salah teknik. Bagi pepatih pemula yang merasa dirinya tidak dalam kondisi bagus atau kerauhannya tidak sempurna, cara Ngurek yang aman adalah dengan menekankan ujung keris pada satu titik saja pada bagian tubuh. Namun, untuk pepatih senior yang sudah percaya diri akan kerauhan total, maka bisa saja menusukkan keris ke bagian tubuh yang mana saja tanpa perlu takut terluka.
          Keenam, kecelakaan juga bisa terjadi akibat kurang lengkapnya sarana upacara. Meskipun para pepatih sudah memenuhi semua persyaratan yang ditentukan, seperti sudah siap dan kerauhan total, ngaturang ayah dengan tulus ikhlas, tidak menyombongkan diri sendiri, namun kecelakaan saat Ngurek bisa saja terjadi sebagai peringatan kalau ada upakara atau perlengkapan upacara yang belum lengkap. Biasanya kecelakaan seperti ini bermakana teguran, dan luka yang terjadi juga tidak terlalu serius, hanya sebatas luka ringan saja.

2.7 Pencegahan Kecelakaan Ngurek
          Seperti dalam pembahasan sebelumnya, sudah disebutkan bahwa kecelakaan dalam ritual Ngurek dapat disebabkan oleh beberapa hal. Oleh karena itu untuk mencegah terjadinya kecelakaan saat Ngurek itu, maka penyebabnya perlu ditanggulangi atau dicari jalan keluarnya terlebih dahulu. Setelah kita mengenali penyebab terjadinya kecelakaan saat Ngurek, maka untuk mencegahnya bisa dilakukan dengan lebih mudah asalkan ada kemauan, serta dilakukan dengan tulus ikhlas.
Diantaranya yang dapat dilakukan untuk mencegah kecelakaan Ngurek adalah :
          Pertama, untuk mencegah terjadinya luka yang diakibatkan oleh pepatih yang belum siap atau belum kerauhan total,sudah seharusnya para pepatih yang akan Ngurek tersebut mempersiapkan dirinya sejak awal untuk total ngaturang ayah selama upacara berlangsung. Lakukan semua dengan pasrah dan selalu memanjatkan doa kepada Ida Bhatara sesuhunan setiap akan memulai Ngurek. Hal ini sebagai tanda bahwa setiap tahapan-tahapan upacara harus diikuti sepenuh hati dan selalu ada dalam keadaan siap dan waspada. Begitu juga jika akan melakukan kegiatan Ngurek sudah semestinya setiap pepatih mempersiapkan jiwa dan raganya untuk ngaturang ayah.
          Kedua, Ngurek dengan perasaan ragu-ragu dapat menimbulkan bencana, oleh karena itu bila ketika akan Ngurek ada perasaan ragu-ragu dan tidak tulus, maka daripada nanti menimbulkan dampak buruk lebih baik tidak usah ngaturang ayah bila kondisi tidak mendukung. Kalau sudah ke pura hendaknya kita satukan hati dan pikiran agar fokus pada Ida Bhatara. Itulah sebabnya kenapa hampir seluruh pintu masuk ke utama mandala berbentuk Candi Kurung, bukan Candi Bentar, yang bermakna rwa bhineda dalam pikiran sudah bersatu padu menuju satu tempat ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa.
          Ketiga, Untuk mencegah agar badan pepatih tidak leteh atau kotor, maka setiap pepatih harus rajin membersihkan diri, baik secara sekala maupun secara niskala. Salah satu contohnya adalah dengan melakukan panglukatan yaitu mandi dengan dilengkapi dengan sarana upakara. Disamping itu untuk menjaga kesucian diri, maka perlu dihindari tempat-tempat yang dilarang oleh ajaran agama, seperti diskotik, kafe remang-remang, tempat prostitusi, tempat judi, dan lain-lainnya. Juga perlu dihindari pikiran serta ucapan yang bersifat negatif, yang bisa merusak jiwa.
          Keempat, seorang pepatih harus bersifat rendah hati, tidak boleh sombong dalam menunjukkan kekuatan dan kekebalan, karena Ngurek merupakan serangkaian ritual upacara keagamaan, yang tidak boleh disamakan dengan Ngurek yang hanya bersifat hiburan semata. Jadi seorang pepatih yang melakukan atraksi Ngurek bukanlah untuk memperlihatkan kebolehannya memainkan keris dan senjata tajam lainnya, akan tetapi proses Ngurek itu harus dilakukan dengan tujuan pengorbanan dan menyerahkan diri kepada Tuhan. Walaupun dalam kehidupan sehari-harinya dia memakai ilmu dan jimat kekebalan, namun pada saat melakukan Ngurek semua jimat itu harus dilupakan, dan hanya mengandalkan kekuatan Ida Bhatara.
          Kelima, mengenai teknik Ngurek, masing-masing pepatih punya gaya sendiri-sendiri. Asalkan dia mau memasrahkan dirinya saat Ngurek, maka akan mudah mengalami kerauhan sempurna, sehingga saat demikian roh yang memasuki tubuh akan memberikan kekuatan lebih dan walau ke bagian tubuh mana saja keris ditusukkan tidak akan menimbulkan luka.
          Keenam, untuk menghindari kekurangan upakara, maka perlu pedoman untuk masing-masing pura, berupa buku yang memuat segala sesuatu tentang ketentuan di setiap pura, baik mengenai upakara maupun upacara serta tata cara pelaksanaannya. Dengan adanya panduan seperti itu maka diharapkan tidak ada sarana dan kelengkapan upacara yang dilupakan.
          Bila semua hal tersebut sudah bisa dilaksanakan dengan baik dan benar, maka kecelakaan saat Ngurek bisa dicegah dan ritual Ngurek akan berjalan dengan lancar tanpa ada halangan yang berarti.




BAB III
PENUTUP
3.1    Kesimpulan
          Berdasarkan uraian pembahasan di atas, dapat kita ketahui betapa Bali memiliki beragam budaya juga tradisi yang unik dan menarik. Rangkaian tradisi tersebut biasanya dilakukan sebagai pelengkap ritual upacara keagamaan. Ngurek sebagai salah satu ritual unik yang terdapat di Bali merupakan perwujudan bhakti seseorang kepada Tuhannya. Perilaku Ngurek bisa diartikan sebagai kesediaan berkorban untuk Sang Pencipta. Proses berkorban kepada Tuhan tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Hindu Bali, namun juga bisa kita temukan dalam ajaran agama lain. Walaupun dengan sebutan dan cara yang berbeda-beda, tetapi inti ajarannya adalah sama untuk menunjukkan rasa bhakti kepada Tuhan. Terdapat berbagai jenis dari ritual Ngurek, namun pada dasarnya proses Ngurek dilakukan dalam keadaan kerauhan (trance). Bagi para pelaku Ngurek terdapat ketentuan-ketentuan serta pantangan yang harus dipatuhi dan ditaati, karena bila hal tersebut dilanggar akan bisa berakibat fatal pada saat melakukan ritual.

3.2     Saran
          Dari pembahasan yang sudah disampaikan mengenai apa dan bagaimana ritual Ngurek yang berkembang dalam masyarakat Hindu Bali, maka terdapat beberapa saran yang dapat penulis sampaikan yaitu :
a.     Bagi masyarakat Bali hendaknya mau mempelajari kebudayaan dan tradisi yang ada sebagai salah satu warisan luhur yang perlu dilestarikan.
b.     Ngurek merupakan warisan budaya yang unik, oleh karenanya sudah seharusnya kita mengenal tradisi ini, serta mau mempelajarinya.
c.      Agar tradisi Ngurek tidak hilang oleh kemajuan jaman, maka perlu kita lestarikan dengan cara mengajarkan kepada para pemuda sebagai generasi penerus.
d.     Untuk para pelaku Ngurek diharapkan bersedia melakukan ritual ini dengan rasa tulus ikhlas, benar-benar karena kerelaan berkorban untuk Tuhan Yang Maha Esa.


DAFTAR PUSTAKA

1.     Oka Swadiana, Jero Mangku dan N Putrawan. 2007. NGUREK: Pengorbanan Diri Pemuja Shakti. Denpasar : Majalah Hindu Raditya.
2.     Picard, Michel. 2006. Bali:pariwisata budaya dan budaya pariwisata. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia.
3.     Oka Swadiana, Jero Mangku. 2008. Ngereh : ritual,spiritual, tradisional. Denpasar: Paramita.
4.     Sanggra, Made. 1993. Kiwa-tengen dalam dalam budaya Bali. Denpasar: Kayumas.
5.     Aryantha Soethama, I Gde. 2004. Bali tikam Bali. Denpasar: Arti Foundation.
6.     Abdul Halim, Adil Musthafa.  2007. Kisah Bapak dan Anak Dalam Al Qur’an. Jakarta: Gema Insani.
7.     Semarak Aksi Ngurek Keris. 2010-07-05. www.jawapos.co.id
8.     Widiatmojo, Radityo.Upacara Pengerebongan dan Tradisi Ngurek. 01-01-2011. www.wordpress.com.





Selasa, 04 Januari 2011

Ngurek

BAB I
ISI

2.1.    Pengertian Ngurek
          Tradisi Ngurek atau Ngunying hingga kini masih dilestarikan oleh masyarakat Bali. Tradisi tersebut ada di sejumlah daerah di Bali. Tradisi ini umumnya berkaitan erat dengan ritual keagamaan. Bahkan, di sejumlah desa adat di Bali tradisi ini wajib dilangsungkan.
          Tradisi Ngurek di Bali merupakan wujud bakti seseorang kepada Sang Hyang Widhi Wasa. Atraksi menusuk diri dengan keris ini berlangsung ketika para pelaku berada dalam keadaan kerauhan (trance). Ini sebuah keunikan sekaligus misteri yang sulit dijelaskan, namun amat biasa bagi orang Bali.
          Ngurek berasal dari kata ‘urek’ yang berarti lobangi atau tusuk, jadi Ngurek dapat diartikan berusaha melobangi atau menusuk bagian tubuh sendiri dengan keris,tombak,atau alat lainnya saat berada dalam kondisi kerauhan. Karena Ngurek dilakukan dalam kondisi kerauhan, maka roh lain yang memasuki tubuh akan member kekuatan, sehingga menjadi kebal.
          Tradisi Ngurek biasa dilakukan di luar areal pura utama. Sebelum Ngurek dilakukan, biasanya Barong dan Rangda serta orang yang biasa Ngurek (juru urek) yang juga biasa disebut dengan ‘pepatih’ keluar dari kompleks pura utama dan mengelilingi wantilan pura sebanyak 3 kali. Saat melakukan hal itulah, para pepatih mengalami titik kulminasi spiritual tertinggi dan keris pun langsung ditancapkan ke bagian tubuhnya tanpa terluka sedikitpun. Ngurek sendiri memiliki gaya masing-masing, ada yang berdiri sembari menancapkan keris ke bagian tubuhnya dan ada pula yang bersandar di pelinggih kemudian menancapakn keris ke tubuhnya sendiri. Setelah upacara selesai, para pelaku ngurek kembali ke areal pura utama.
          Menurut sejarahnya, tradisi Ngurek bersumber dari ritus keagamaan di Bali. Biasanya dilakukan saat upacara Dewa Yadnya yang disebut Ngeramen di pura, sanggah (merajan) dan paibon. Prosesi sakralnya berbeda-beda antara daerah satu dengan lainnya.
          Tradisi Ngurek tidak hanya dilakukan di Bali, tapi juga terdapat di daerah lain. Misalnya di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan, kebiasaan ini dilakukan oleh mereka yang disebut juru doa, mirip dengan balian atau dukun. Para juru doa ini diundang untuk memimpin hajatan. Manakala ritual berlangsung, juru doa akan mengalami kerauhan dan langsung mencabut keris kecil yang terselip di pinggangnya kemudian menusuk telapak tangannya sendiri, berlanjut menikam dada dan perutnya. Fenomena sejenis juga dapat disaksikan dalam kesenian tradisional suku Jambi yang menampilkan tarian berkolaborasi dengan budaya magis. Pada puncak tarian si penari wanita akan menusukkan dua pedang yang tadi dipakai menari ke tubuhnya sendiri dalam keadaan trance.
          Pada masyarakat Hindu India, khususnya penyembah Durga Ma dalam perayaan Tiruwila juga biasa menampilkan atraksi serupa. Hanya saja mereka benar-benar menusuk bagian anggota tubuhnya hingga tembus dengan benda-benda tajam. Adegan ini sebenarnya merupakan satu aktivitas ritual bagi pemuja sakti, dengan menghadirkan kekuatan supranatural, roh-roh gaib untuk membantu atraksi, sehingga tidak sampai membahayakan nyawa mereka.
          Kondisi kerauhan (trance) bisa diupayakan, namun sulit diduga mengenai waktu maupun orang yang mungkin akan kerauhan. Orang yang disiapkan untuk kerauhan bisa jadi tidak mengalami apa-apa. Sebaliknya justru pada partisipan lainnya yang mengalami kerauhan. Trance dalam Ngurek biasanya terjadi atau diupayakan dengan prosesi ritual khusus. Untuk mencapai klimaks kerauhan, mereka harus melakukan serangkaian ritual. Tahap-tahap itu secara garis besar dapat dibagi tiga yakni Nusdus, Masolah, Ngaluwur. Nusdus adalah merangsang para pelaku ngurek dengan asap asap yang beraroma harum menyengat. Masolah merupakan tahap menari dengan iringan lagu-lagu dan koor kecak atau bunyi gamelan. Sedangkan Ngaluwur berarti mengembalikan pelaku ngurek pada jati dirinya.
          Dari fenomena Ngurek yang berkembang saat ini dan membandingkannya dengan tradisi serupa di sejumlah ritual Hindu di tempat lain, atau pada keyakinan agama lain di suatu daerah, maka Ngurek merupakan perpaduan antara dua hal. Pertama. Tradisi ini merupakan kebiasaan masyarakat Bali Purba dari zaman animism-dinamisme, dimana saat upacara mengundang roh leluhur dilakukan, para roh diminta untuk berkenan memasuki badan orang-orang yang telah ditunjuk. Bagi masyarakat animisme-dinamisme, kerauhan yang diikuti atraksi Ngurek dipercaya sebagai sebuah tanda, bahwa roh-roh yang diundang telah hadir di sekitar mereka. Kedua. Tradisi Ngurek bagi masyarakat Hindu Bali di beberapa daerah memiliki fungsi mirip dengan kepercayaan animisme, tetapi bedanya tidak dalam rangka mengundang roh leluhur, namun mengundang Ida Bhatara dan para Rencang-Nya untuk berkenan menerima persembahan ritual saat upacara piodalan. Jika orang-orang yang ditunjuk sudah kerauhan dan mulai ngurek, maka masyarakat bisa mengetahui dan meyakini kalau Ida Bhatara sudah tedun dan berkenan katuran piodalan. Dengan turunnya Ida Bhatara ke marcapada (dunia), maka umat yang mengikuti prosesi ritual piodalan ini kian mantap dengan semangat bhaktinya.
2.2     Makna Ngurek
          Ngurek merupakan bagian dari yadnya atau pengorbanan yang tulus ikhlas seorang hamba kepada Tuhannya. Hampir semua agama memiliki cara tersendiri dalam melakukan pengorbanan diri sebagai tanda bhakti kepada Tuhan. Seperti misalnya ketentuan selibat (membujang) dalam ajaran agama Kristen, kewajiban berpuasa atau tidak makan dan minum dalam agama Islam, meditasi dan ajaran vegetarian dalam agama Budha, kemudian dalam Hindu sendiri banyak jenis ajaran pengorbanan diri, mulai dari puasa, yoga, brhmachari, ngurek, dan sebagainya.
          Dalam sebuah ritual upacara di Bali, selain dengan mempersembahkan berbagai bentuk bebantenan, ada juga komponen persembahan lain, seperti misalnya tarian, music atau gamelan, kidung, dan beragam bentuk persembahan lainnya. Ngurek sendiri merupakan persembahan dalam bentuk tari-tarian yang intinya adalah mengorbankan diri dengan cara kerelaan ditikam (disakiti) untuk menunjukkan kepatuhan pada Sang Maha Pencipta. Dalam atraksi Ngurek inilah setiap peserta mengekspresikan dirinya, secara simbolik ingin mengorbankan dirinya kepada dewa yang dipujanya. Menusuk badan sendiri jelas menimbulkan rasa sakit secara alamiah. Namun, secara umum cara penyiksaan badan sebagai wujud kecintaan kepada yang dipuja hamper menjadi pola umum dalam setiap sistem kepercayaan, hanya saja bentuknya yang berbeda-beda.
          Dalam agama Hindu ada upacara potong rambut atau juga potong gigi (metatah) sebagai bentuk riil mengorbankan diri. Dalam sistem kepercayaan sebuah suku di Papua bahkan ada mengorbankan diri dengan memotong salah satu jari tangan bila ada keluarganya yang meninggal. Disamping itu ada juga pengikut agama Islam Syiah di Iran dan Irak yang memperingati hari besarnya dengan melukai diri hingga berdarah. Hal yang mirip dengan pengikut Kristen di Filipina Selatan yang merayakan Natal dengan cara memukul-mukul bagian badannya dengan rantai besi. Komunitas Hindu di Malaysia juga punya upacara bernama Tai Pusam, ditandai dengan menusukkan tombak atau jarum ke berbagai bagian tubuhnya hingga darah menetes ke bumi.
          Di desa Tenganan, Karangasem, Bali ada tradisi perang pandan atau lebih dikenal dengan mageret pandan yang merupakan ritual menek truna (meningkat dewasa bagi kaum pria). Mereka yang telah berani ambil bagian dalam upacara mageret pandan sudah sah dianggap dewasa secara adat. Dengan menggenggam daun pandan  yang berduri dan tameng yang terbuat dari rotan, mereka mulai berperang dengan cara menancapkan daun pandan ke tubuh lawan lalu menariknya hingga menimbulkan luka dan darah mengucur dari tubuh. Jelas, ritual ini berada dalam bingkai magis, suatu persembahan yang tidak terhenti pada pembuktian pada kelompok tertentu, tetapi juga kepada kekuatan-kekuatan supranatural. Mengucurkan darah dalam perang pandan adalah salah satu persembahan pengorbanan diri kepada Tuhan.
          Dalam perkembangan selanjutnya, suatu cara pengorbanan tidak hanya meliputi pengorbanan diri sendiri, tetapi memakai media lain dengan cara menyembelih binatang, mempersembahkan darahnya dalam upacara caru. Hewan yang biasa dipakai seperti ayam, itik, anjing belang bungkem, kerbau, dan lain sebagainya.
          Ajaran agama Islam juga mengajarkan umatnya untuk memotong hewan kurban seperti kambing, sapi, dan kerbau pada saat hari raya Idul Adha. Perintah berkurban ini adalah sebagai bentuk penghormatan kepada nabi Ibrahim yang telah merelakan putranya untuk disembelih demi membuktikan kecintaannya terhadap Tuhannya. Karena kesediaannya berkorban itulah kemudian nabi Ibrahim diangkat derajatnya lebih tinggi dan dijadikan contoh oleh umat selanjutnya sampai sekarang.
          Kendati secara praktek pengorbanan kepada dewa-dewa sudah digantikan dengan hewan tertentu, namun dalam seremonial upacara, simbol pengorbanan diri ini masih dilakukan. Salah satu simbol tersebut adalah Ngurek, sebagai bentuk menumpahkan darah sendiri ke bumi. Meskipun tanpa cucuran darah yang menetes dari tubuh pengurek bukanlah halangan untuk meluapkan kerinduan kepada dewa yang disembahnya. Suasana kerauhan (trance) menjadikan bathin berekspresi dengan leluasa dan jati diri pribadi melakukan kepasrahan total pada Sang Maha Pencipta.
2.3 Jenis - Jenis Ngurek
          Dari pelaksanaan Ngurek di berbagai tempat di Bali, maka ngurek dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu:

a.     Ngurek yang termetodiskan atau terpola
Ritual ngurek jenis ini dilakukan dan berlangsung secara teratur dan terkendali, karena menjadi satu rangkaian dengan pelaksanaan upacara piodalan. Umumnya Ngurek dilakukan oleh para pepatih dengan menggunakan keris, tombak, dan alat lainnya.
Ngurek merupakan perwujudan bhakti atau keikhlasan seseorang dan sebagai tanda Tedunnya iring-iringan Ida Bhatara menyaksikan jalannya ritual upacara.
b.    Ngurek yang tak termetodiskan
Ngurek yang tidak harus dilaksanakan pada saat ritual keagamaan. Dalam hal ini Ngurek akan dilakukan sesuai kebutuhan sebagai bukti bahwa dasaran itu benar-benar kerauhan sambil memberikan pesan-pesan niskala saat berlangsungnya piodalan, biasanya berkaitan dengan pelaksanaan upacara, apakah sudah diterima atau masi ada suatu yang kurang dari persembahan yang dilakukan. Pada situasi ini mereka yang Ngurek bisa pemangku, dasaran pepatih, penyungsung pura, anggota karma desa, pragina gamelan, tokoh masyarakat, orang dewasa atau anak-anak, laki atau perempuan. Namun mereka melakukan Ngurek tetap dalam kondisi kerauhan. Kendati keris tajam dihujamkan ke tubuh berkali-kali, tak menyebabkan setetes darah pun mengucur.
c.      Ngurek untuk pertunjukan
Seiring perkembangan dunia pariwisata, selain untuk kebutuhan upacara keagamaan, berkembang juga Ngurek untuk kepentingan hiburan yang dikenal dengan sebutan Barong and Keris Dance. Pertunjukan ini mementaskan seni Arja dengan lakon Calonarang yang menceritakan kisah pertempuran Ni Calonarang (Ratu Natengdirah) dengan Patih Maling Maguna yang dihiasi pertunjukan menikam-nikam sang Rangda sebagai jelmaan Calonarang.
Para penari semata-mata memberikan atraksi hiburan kepada penonton. Mereka membekali diri dengan jimat kekebalan atau mengatur dengan teknik tertentu supaya terkesan kerauhan sungguhan. Bagi wisatawan asing yang tidak mengerti, apayang dilakukan oleh penari itu dianggap Ngurek sungguhan. Padahal itu hanya dilakukan dengan menggunakan teknik dan peralatan tertentu sehingga kelihatan serius.

2.4     Gerakan Ngurek
          Sebelum prosesi Ngurek dimulai, Pemangku Pengenter akan menghaturkan tetabuhan untuk mohon ijin serta keselamatan kehadapan Ida Bhatara.
Untuk pepatih pemula perlu didampingi oleh pepatih senior, karena pada saat mulai kerauhan dia bisa lepas kontrol, sehingga gerakannya jadi tidak karuan. Namun semakin berpengalaman maka ia akan mampu menguasai energi tersebut dan Ngurek menjadi lebih aman.
Apabila Ngurek itu dilakukan dengan tulus dan tidak dibuat-buat, maka gerakan-gerakan yang dimunculkan oleh kekuatan iringan Ida Bhatara akan terjadi dengan hebatnya. Akan tetapi bila ada yang ngurek tidak murni karena kerauhan, maka mereka akan bergerak sesuai kehendak hatinya dan ini bisa membahayan dirinya sendiri.
Gerakan saat Ngurek dan kerauhan sangat ditentukan oleh iringan yang ngelinggihin orang tersebut. Jika yang ngelinggihin itu berkarakter ganas, walaupun pepatih itu usianya sudah tua, tetap saja akan menampilkan gerakan yang beringas.
Pada umumnya gerakan saat Ngurek dipengaruhi juga oleh pribadi pepatih yang kerauhan itu dalam kehidupan sehari-harinya. Sebab, biasanya iringan Ida Bhatara akan mencari wadah yang mendekati karakternya. Yang berkarakter ganas akan memasuki manusia yang memiliki pribadi serupa, demikian pula iringan yang berkarakter kalem akan mencari orang kalem juga.
Ngurek dalam sebuah ritual mempunyai gerakan tersendiri sesuai dengan iringan Ida Bhatara yang ngelinggihin. Ada yang berdiri sambil menancapkan keris ke bagian tubuhnya,ada juga yang bersandar di pelinggih kemudian menikamkan keris ke tubuhnya. Biasanya mereka menggunakan sebilah keris,tetapi ada pula yang menggunakan dua buah keris sekaligus. Ada yang bertingkah sambil merayap, berlari mengelilingi bebantenan, ada juga yang melompat-lompat sambil tertawa-tawa.
2.5     Menangani Orang Ngurek
          Penanganan terhadap orang Ngurek meliputi menjaga, mengawasi, dan bila perlu membantu memegang para pepatih yang sedang Ngurek agar jangan terjatuh atau bergerak berlebihan.
          Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan saat menangani orang Ngurek, diantaranya adalah senioritas para pepatih, gerakan yang ditimbulkan saat Ngurek, iringan Ida Bhatara yang ngelinggihin, kondisi lokasi, dan jenis upacara pada saat Ngurek dilakukan. Jika seorang pepatih sudah senior dan ngaturang ayah dengan tulus ikhlas, maka dia tidak perlu dijaga dan diawasi, karena dia sudah dapat mengontrol segala gerakannya. Namun, bagi para pepatih pemula sangat perlu penjagaan dan pengawasan, karena biasanya dia belum bisa mengontrol dirinya, sehingga gerakannya jadi tak terarah, berlebihan, malah bisa membahayakan diri sendiri maupun orang lain.
          Menangani orang ngurek bagi pepatih yang sudah senior tidak ada masalah walaupun dengan gerakan apapun, biarkan mereka berkreasi dan setelah tiba waktunya, dia akan selesai dengan sendirinya. Kalau sudah selesai (nyineb) kemudian dihaturkan arak berem, lalu diperciki wangsuhpada Ida Bhatara.
          Pepatih yang pada saat ngurek menimbulkan banyak gerakan yang membahayakan seperti sering memindahkan ujung keris dari dada, perut, pinggang, kepala, kelopak mata, pipi, dahi, dan bagian tubuh lainnya biasanya diberi kata-kata peringatan oleh pepatih yang lebih senior atau oleh pemangku. Bila ada pepatih yang bergerak berguling terlalu jauh dan merusak perlengkapan upacara maka biasanya akan ditahan dengan kaki agar dia berhenti berguling.
          Iringan Ida Bhatara yang ngelinggihin pepatih jenisnya bermacam-macam dan hal tersebut akan menimbulkan berbagai bentuk gerakan yang sesuai dengan karakter roh yang memasukinya. Setiap gerakan ini jika dimunculkan secara murni oleh para pepatih, maka akan memperlihatkan suatu gerakan yang indah karena sesuai dengan gerakan ancangan Ida Bhatara yang sedang ngelinggihin. Gerakan yang bersifat murni akan muncul bila Ngurek dilaksanakan dengan tulus ikhlas dan tidak ada maksud untuk pamer kekebalan dan tidak menambah-nambah gerakan buatan sendiri diluar kehendak roh yang merasuki tubuh.
          Lokasi ritual juga mempengaruhi keberadaan pepatih yang sedang Ngurek dan akan berpengaruh juga pada cara penanganannya. Misalnya pada lokasi yang sempit akan memerlukan kemampuan khusus dari para pepatih dan pemangku agar pada saat berdesak-desakan tidak sampai menimbulkan kecelakaan. Begitu juga jika pepatih yang ngaturang ayah jumlahnya cukup banyak diperlukan pengaturan yang bagus agar tidak terjadi saling tabrak antara satu dengan lainnya. Suasana dan kondisi yang kondusif sangat perlu diciptakan, disamping itu juga para petugas pendukung harus tahu dan paham betul dengan tugasnya masing-masing, mampu berkoordinasi dengan baik, sehingga proses Ngurek dapat berjalan dengan lancar.
          Tingkatan atau jenis upacara juga perlu diperhatikan dalam menangani pepatih yang Ngurek. Jika upacaranya tergolong kecil maka jumlah pengurek juga sedikit dengan aura magis yang tidak terlalu kuat, sehingga cara penanganannya juga cukup sederhana. Sebaliknya, jika tingkatan upacaranya tergolong besar, pepatih yang hadir biasanya juga berjumlah banyak, dengan aura magis yang cukup kuat, sehingga penanganannya juga lebih khusus seperti dilengkapi dengan pemotongan beberapa binatang seperti ayam, bebek, dan babi.
2.6     Kecelakaan
          “Sepandai-pandai tupai melompat akhirnya akan jatuh juga”, begitulah bunyi salah satu peribahasa, yang artinya walau kita sudah mahir melakukan sesuatu tapi suatu saat pasti akan menemukan kegagalan. Begitu juga pada ritual Ngurek, walaupun sudah dipersiapkan dengan matang mungkin saja terjadi kecelakaan, seperti saat Ngurek ada pepatih yang terluka oleh keris yang dipakainya. Ada beberapa hal yang bisa menyebabkan terjadinya kecelakaan saat Ngurek, diantaranya adalah :
          Pertama, pepatih yang akan ngaturang ayah belum mencapai kerauhan total, tetapi karena peserta yang lain sudah kerauhan dan mulai melakukan Ngurek, maka dia ikut Ngurek dalam kondisi kerauhan yang belum sempurna, hal ini dapat mengakibatkan kecelakaan yang berakibat fatal bagi dirinya sendiri.
          Kedua, perasaan ragu dan tidak ikhlas saat ngaturang ayah, akibat permasalahan pribadi dari seorang pepatih akan mempengaruhi kondisi kejiwaan dan emosinya. Hal ini akan menyebabkan ancangan Ida Bhatara yang ngelinggihin tidak dapat masuk dengan sempurna, kekebalan tubuh pada saat Ngurek jadi tidak sempurna, maka kemungkinan terluka saat Ngurek bisa terjadi.
          Ketiga, badan pepatih dalam keadaan leteh atau kotor dapat menyebabkan kecelakaan saat Ngurek. Leteh ini bisa diakibatkan karena melanggar pantangan sebagai pepatih. Salah satu contohnya adalah tidak datang ke tempat-tempat mesum, tidak berselingkuh, tidak makan atau minum yang terlarang, dan lain sebagainya. Hal itu jika dilanggar akan menyebabkan badan menjadi leteh atau kotor. Pada saat kerauhan, ancangan Ida Bhatara dengan energi supranaturalnya masuk ke tubuh pepatih. Namun, karena dalam kondisi kotor, maka tubuhnya tidak sanggup menampung energi yang masuk, sehingga tubuh tidak akan menampakkan kekebalannya.
          Keempat, kesombongan seorang pepatih dapat mengakibatkan kecelakaan. Misalnya, karena dalam kesehariannya biasa menggunakan jimat atau ilmu kekebalan, maka dia merasa yakin dan sesumbar tidak akan tembus senjata saat ditikam. Karena terlalu yakin dengan kekebalan dirinya sendiri mengakibatkan energi dari roh tidak bisa masuk dengan sempurna, akhirnya kekebalan yang dibangga-banggakan tidak bisa berfungsi, dan kecelakaan pun tidak bisa dihindari. Oleh sebab itu, pada saat Ngurek atau Ngunying harus didasari dengan sikap pasrah, tulus ikhlas, percaya kepada Ida Bhatara, sehingga jimat dan ilmu kekebalan buatan manusia tidak diperlukan lagi.
          Kelima, kecelakaan dapat terjadi karena salah teknik. Bagi pepatih pemula yang merasa dirinya tidak dalam kondisi bagus atau kerauhannya tidak sempurna, cara Ngurek yang aman adalah dengan menekankan ujung keris pada satu titik saja pada bagian tubuh. Namun, untuk pepatih senior yang sudah percaya diri akan kerauhan total, maka bisa saja menusukkan keris ke bagian tubuh yang mana saja tanpa perlu takut terluka.
          Keenam, kecelakaan juga bisa terjadi akibat kurang lengkapnya sarana upacara. Meskipun para pepatih sudah memenuhi semua persyaratan yang ditentukan, namun kecelakaan saat Ngurek bisa saja terjadi sebagai peringatan kalau ada upakara yang belum lengkap. Biasanya kecelakaan seperti ini bermakana teguran, dan luka yang terjadi juga tidak terlalu serius, hanya sebatas luka ringan saja.
2.7 Pencegahan
          Seperti dalam pembahasan sebelumnya, kecelakaan dalam ritual Ngurek dapat disebabkan oleh beberapa hal. Untuk mencegah terjadinya kecelakaan saat Ngurek itu, maka penyebabnya perlu ditanggulangi atau dicari jalan keluarnya terlebih dahulu. Setelah kita mengenali penyebab terjadinya kecelakaan saat Ngurek, maka untuk mencegahnya bisa dilakukan dengan lebih mudah asalkan ada kemauan, serta dilakukan dengan tulus ikhlas. Diantaranya yang dapat dilakukan untuk mencegah kecelakaan Ngurek adalah :
          Pertama, untuk mencegah terjadinya luka yang diakibatkan oleh pepatih yang belum siap atau belum kerauhan total,sudah seharusnya para pepatih yang akan Ngurek tersebut mempersiapkan dirinya sejak awal untuk total ngaturang ayah selama upacara berlangsung. Lakukan semua dengan pasrah dan selalu memanjatkan doa kepada Ida Bhatara sesuhunan setiap akan memulai Ngurek. Hal ini sebagai tanda bahwa setiap tahapan-tahapan upacara harus diikuti sepenuh hati dan selalu ada dalam keadaan siap dan waspada. Begitu juga jika akan Ngurek sudah semestinya setiap pepatih mempersiapkan jiwa dan raganya untuk ngaturang ayah.
          Kedua, bila ketika akan Ngurek ada perasaan ragu-ragu dan tidak tulus, maka daripada menimbulkan dampak buruk lebih baik tidak usah ngaturang ayah bila kondisi tidak mendukung. Kalau sudah ke pura hendaknya kita satukan pikiran agar focus pada Ida Bhatara. Itulah sebabnya kenapa hampir seluruh pintu masuk ke utama mandala berbentuk Candi Kurung, bukan Candi Bentar, yang bermakna rwa bhineda dalam pikiran sudah bersatu padu menuju satu tempat ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa.
          Ketiga, Untuk mencegah agar badan pepatih tidak leteh atau kotor, maka setiap pepatih harus rajin membersihkan diri, baik secara sekala maupun secara niskala. Salah satu contohnya adalah dengan melakukan panglukatan yaitu mandi dengan dilengkapi dengan sarana upakara. Disamping itu untuk menjaga kesucian diri, maka perlu dihindari tempat-tempat yang dilarang oleh ajaran agama, seperti diskotik, kafe remang-remang, tempat prostitusi, tempat judi, dan lain-lainnya. Juga perlu dihindari pikiran serta ucapan yang bersifat negatif, yang bisa merusak jiwa.
          Keempat, seorang pepatih harus bersifat rendah hati, tidak boleh sombong dalam menunjukkan kekuatan dan kekebalan, karena Ngurek merupakan serangkaian ritual upacara keagamaan, yang tidak boleh disamakan dengan Ngurek yang hanya bersifat hiburan semata. Jadi seorang pepatih yang melakukan atraksi Ngurek bukanlah untuk memperlihatkan kebolehannya memainkan keris dan senjata tajam lainnya, akan tetapi proses Ngurek itu harus dilakukan dengan tujuan pengorbanan dan menyerahkan diri kepada Tuhan.
          Kelima, mengenai teknik Ngurek, masing-masing pepatih punya gaya sendiri-sendiri. Asalkan dia mau memasrahkan dirinya saat Ngurek, maka akan mudah mengalami kerauhan sempurna, sehingga saat demikian roh yang memasuki tubuh akan memberikan kekuatan lebih dan walau ke bagian tubuh mana saja keri ditusukkan tidak akan menimbulkan luka.
          Keenam, untuk menghindari kekurangan upakara, maka perlu pedoman untuk masing-masing pura, berupa buku yang memuat segala sesuatu tentang ketentuan di setiap pura, baik mengenai upakara maupun upacara serta tata cara pelaksanaannya. Dengan adanya panduan seperti itu maka diharapkan tidak ada sarana dan kelengkapan upacara yang dilupakan.