Senin, 04 Juli 2011

GALUNGAN

Sehubungan dengan jatuhnya Hari Raya Galungan tiga hari mendatang di Bali, maka saya akan membahas sedikit sejarah mengenai Hari Raya Galungan. Semoga dengan ini mereka yang merayakan semakin mendalami makna yang sebenarnya dari Hari Raya Galungan.

 Sejarah Hari Raya Galungan
Kata “Galungan” berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan Dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis.
Agak sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini. Kapan sebenarnya Galungan dirayakan pertamakali di Indonesia, terutama di Jawa dan di daerah lain khususnya di Bali.
Drs. I Gusti Agung Gede Putra (mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI) memperkirakan, Galungan telah lama dirayakan umat Hindu di Indonesia sebelum hari raya itu populer dirayakan di Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kidung Panji Amalat Rasmi.
Tetapi, kapan tepatnya Galungan itu dirayakan di luar Bali dan apakah namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan pasti. Namun di Bali, ada sumber yang memberikan titik terang. Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam lontar itu disebutkan:
Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.
Artinya:
Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.
Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba entah apa dasar pertimbangannya pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu terjadi ketika Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek.
Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu.
Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah Dewa Sraya — artinya mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih.
Karena kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau “bisikan religius” dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan.
Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan).
Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.


Makna Filosofis Galungan

Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia.
Selain itu juga memberi kemampuan untuk membeda-bedakan kecendrungan keraksasaan (asura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad). Harus disadari bahwa hidup yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki kemampuan untuk menguasai kecenderungan keraksasaan.
Galungan adalah juga salah satu upacara agama Hindu untuk mengingatkan manusia secara ritual dan spiritual agar selalu memenangkan Dewi Sampad untuk menegakkan dharma melawan adharma. 
Intinya makna hari Raya Galungan adalah kemenangan dharma ( kebaikan) melawan adharma 
( kejahatan )

Rangkaian kegiatan  Hari Raya Galungan
 
Hari raya Galungan merupakan Hari raya Umat hindu di Bali yang dilaksanakan setiap enam bulan sekali, jadi dalam setahun ada dua kali perayaaan hari Raya Galungan.
Dalam Lontar Sunarigama Hari raya Galungan mepunyai banyak rangkaian kegiatan sebelum maupun sesudahnya antara lain




  • Hari Sugihan Jawa
Sugihan Jawa dirayakan pada hari Wrhaspati Wage Wuku Sungsang, enam hari sebelum Galungan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Sugihan Jawa itu merupakan Pasucian dewa kalinggania pamrastista batara kabeh (Penyucian Dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara).  Pelaksanaan upacara ini adalah dengan membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci. Sugihan Jawa merupakan perayaan dengan persembahyangan  bagi umat Hindu keturunan Majapahit seperti saya dan kebanyakan umat Hindu yang ada di Bali
  • Hari Sugihan bali
Sugihan Bali dirayakan lima hari sebelum Galungan pada Jumat Kliwon Wuku Sungsang  dimana maknanya adalah melakukan penyucian diri sendiri yaitu jasmani dan rohani kita. Disebutkan Kalinggania amretista raga tawulan (Oleh karenanya menyucikan badan jasmani masing- masing). Pada Sugihan Bali ini yang merayakan adalah umat hindu Bali Aga ( masyarakat Hindu asli bali ) , Desa Bali Aga yang penduduknya merupakan penduduk tradisional Bali bisa dilihat di daerah Tenganan, Karangasem Bali.
  • Hari Penyekeban
Tiga hari sebelum Galungan jatuh pada Redite Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa turun mengganggu manusia. Karena itulah pada hari tersebut dianjurkan anyekung jñana, artinya: mendiamkan pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha Galungan (roh jahat). Dalam lontar itu juga disebutkan “nirmalakena” (orang yang pikirannya selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Butha Galungan.
  • Hari Penyajaan
Dua hari sebelum Galungan jatuh pada Senin Pon Dungulan disebut Penyajaan Galungan. Pada hari ini orang yang paham tentang yoga dan samadhi melakukan pemujaan. Dalam lontar disebutkan, “Pangastawaning sang ngamong yoga samadhi.”  
  • Hari Penampahan Galungan
Sehari sebelum Galungan jatuh pada Anggara Wage wuku Dungulan. Pada hari inilah dianggap sebagai hari untuk mengalahkan Butha Galungan dengan upacara pokok yaitu membuat banten byakala yang disebut “pamyakala lara melaradan”. Umat kebanyakan pada hari ini menyembelih babi sebagai binatang korban. Namun makna sesungguhnya adalah pada hari ini hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri. Namun kebiasaan umat sekarang adalah melakukan pemotongan korban sehari pada sehari sebelumnya untuk menghemat waktu sehingga pada Penampahan Galungan biasanya cuma membuat sate, lawar dan macam2 makana untuk sesaji.
Pada hari ini juga dilakukan pembuatan Penjor yang merupakan simbol keagungan dari perayaan Hari raya Galungan

  • Hari Raya Galungan
Maka tibalah saatnya Hari yang ditunggu-tunggu umat Hindu di Bali yakni Hari Raya Galungan jatuh pada Buda Kliwon Dungulan adalah hari memperingati terciptanya alam semesta beserta isinya dan kemenangan dharma melawan adharma Umat Hindu melakukan persembahan kehadapan Sang Hyang Widhi dan Dewa Bhatara/dengan segala manisfestasinya sebagai tanda puji syukur atas rahmatnya serta untuk keselamatan selanjutnya. Sedangkan penjor yang dipasang di muka tiap-tiap perumahan yaitu merupakan aturan kehadapan Bhatara Mahadewa yang berkedudukan di Gunung Agung.
  • Hari Raya Manis Galungan
Demikian urutan upacara yang mendahului Galungan. Sehari setelah hari raya Galungan yaitu hari Kamis Umanis wuku Dungulan disebut Manis Galungan. Pada hari ini umat mengenang betapa indahnya kemenangan dharma. Umat pada umumnya melampiaskan kegembiraan dengan mengunjungi tempat-tempat hiburan terutama panorama yang indah. Juga mengunjungi sanak saudara sambil bergembira-ria.
  • Hari Pemaridan Guru
Hari berikutnya adalah hari Sabtu Pon Dungulan yang disebut hari Pemaridan Guru. Pada hari ini, dilambangkan dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugrah berupa “kadirghayusaan” yaitu hidup sehat panjang umur. Pada hari ini umat dianjurkan menghaturkan canang meraka dan “matirta gocara”. Upacara tersebut barmakna, umat menikmati waranugraha Dewata.


Sumber: Buku “Yadnya dan Bhakti” oleh Ketut Wiana, terbitan Pustaka Manikgeni

PENAMPAHAN GALUNGAN

Selama perayaan Penampahan Galungan mesyarakat Bali membuat persembahan khusus yang dimaksudkan untuk menyingkirkan hal-hal negatif, baik dalam Bhuana Agung (lingkungan dari individu manusia) dan Bhuana Alit (dunia batin manusia); dengan daging babi ata daging ayam yang kemudian disiapkan dan dimasak untuk masakan tradisional Bali seperti Lawar, babi guling, dan sate. Lawar adalah makanan tradisional Bali terdiri dari daging cincang halus, sayuran, kelapa dan berbagai bumbu dan rempah-rempah Anda mungkin tidak pernah mendengar yang disebut “Basa Genep“. Ada banyak jenis Lawar, tergantung pada daging dan nabati yang digunakan. Kombinasi yang paling umum adalah terbuat dari daging babi dan nangka muda.
Terutama anak-anak Bali sangat menantikan Penampahan Galungan karena pesta khas ini penuh dengan banyak hidangan lezat. Namun orang dewasa sangat sibuk selama Penampahan dengan persiapan akhir dari persembahan Galungan. Persiapan dimulai dari fajar, di mana mereka memulai dengan membersihkan dan mendidihkan daging babi dan mempersiapkan bahan lainnya. Setelah itu, semua bahan akan dicincang halus dan bumbu dihaluskan menggunakan ulekan. Meskipun menggunakan blender, masyarakat Bali bersikeras untuk rempah-rempah tetap menggunakan ulekan karena diyakini menghasilkan rasa dan aroma yang lebih baik. Selain Lawar, makanan khas lainnya yang disediakan selama Penampahan adalah tum (campuran daging dan sayuran dibungkus daun pisang), sate lilit (sate cincang Bali), Ares jukut (sup tradisional Bali yang terbuat dari batang pisang).
Pada Penampahan Galungan itu Sang Kala Tiga dalam bentuk Sang Bhuta Amangkurat turun untuk ketiga kalinya dan terakhir ke bumi untuk menggoda umat manusia berbuat adharma. Penampahan berasal dari kata tampah Bali yang berarti ‘(untuk) membunuh, pembantaian’. Pembunuhan hewan dalam hal ini adalah simbolik untuk membunuh ‘hewan dalam diri sendiri’ – kemenangan dari diri yang lebih tinggi atas ego dalam perjuangan mereka untuk mengontrol kekuatan batin individu; secara implisit hal ini melambangkan kemenangan dharma atas adharma.
Pembersihan fisik dan spiritual dari Bhuana Alit dan Agung Bhuana dicapai dengan upacara Bhuta Yadnya khusus (Mabyakala) bagi anggota keluarga dan dengan menyajikan persembahan segehan berwarna untuk Sang Bhuta Galungan untuk melindungi bangunan, pekarangan, senjata, alat-alat kerja, serta anggota keluarga. Upacara Mabyakala harus dilakukan pada sore hari ketika matahari terbenam. Upacara ini, baik secara pribadi dilakukan di kuil keluarga kompleks rumah, atau bersama-sama dengan keluarga lain di Banjar Bale triwulan desa.
Setiap rumah tangga menyajikan persembahan kepada Sang Bhuta Galungan, sebelum kuil sanggah / pemerajan candi rumah, di rumah sendiri dan di ambang pintu gerbang pintu masuk halaman rumah. Penawaran ini terdiri dari tiga set, segehan berwarna (segehan berwarna Kepel), tetabuhan (tuak, arak, brem, air) dan setiap segehan berwarna berisi: 5 porsi nasi putih, ditambah dengan olahan, daging babi panggang, dan 5 genten canang, 9 porsi beras merah, dilengkapi dengan olahan, daging babi panggang, dan 5 genten canang, 4 porsi beras hitam, dilengkapi dengan olahan, daging babi panggang, dan 5 genten canang.
Pada Banjar Bale setiap kuartal desa persembahan segehan berwarna serupa disajikan, dengan agung segehan berwarna tambahan atau penawaran caru (berisi ayam Brumbun panggang). Pada sore hari orang memasang Penjor Galungan di depan rumah mereka – tinggi, dihiasi tiang bambu yang melengkung di bagian atas. Penjor ini adalah jenis persembahan di mana orang mengungkapkan rasa terima kasih mereka bagi kemakmuran bumi yang diberikan pada mereka.
Haluan Penjor mengarah ke Gunung Agung, dan dekorasi buah-buahan dan tanaman adalah simbol bagi tanaman yang dapat tumbuh di mana sungai (simbol untuk air) melewati tanah pertanian dalam perjalanannya ke laut. Penampahan Galungan terjadi sehari sebelum Hari Raya Galungan, pada Selasa minggu ke-11 dari kalender Pawukon Bali, Dungulan.penampahan galungan adalah kegiatan memotong binantang yang di lakukan oleh umat hindu dengan tujuan memotong nafsu yang ada di dalam tubuh kita. kemudian dari sisni tercipta krja sama yang baik dengan individu satu dengan yang lain. terciptalah suasana kekeluargaan yang begitu besar inilah yang di harapkan agara rasa kekeluargaan tercipta dengan baik.
berikut gamar-gambar kegiatan penampahan galungan































































GALUNGAN&KUNINGAN

Hari raya Galungan dan Kuningan adalah salah satu hari raya besar yang diperingati di Bali, Hari raya Galungan dan Kuningan ini sendiri diperingati setiap 6 bulan sekali dalam tanggalan Bali (dalam 1 bulan ada 35 hari ) dan untuk Galungan sendiri tepat jatuh pada Buda Kliwon wuku Dungulan , sedangkan untuk Kuningan jatuh pada Saniscara kliwon wuku kuningan.
Hari raya Galungan dan kuningan secara keseluruhan mempunyai makna kemenangan suci antara Dharma melawan Adharma, yang mana arti dari semua itu sangat luas dan perlu perenungan di dalam diri sendiri, dimana Dharma ( kebaikan ) dan Adharma ( Keburukan ) itu pada awalnya ada di dalam diri kita,jadi kemenangan ini di simboliskan dengan beberapa urutan upacara sebelum mencapai Galungan.
IMG_0013Enam hari sebelum Galungan, diadakan uapacara Sugian Jawa yang mempeunyai makna untuk pembersihan diri dalam menyambut Galungan, selanjutnya Sugian Bali yang maknanya sama dengan sugian jawa.  Kemudian dua hari sebelum hari Galungan ada hari yang dinamakan Penyajaan Galungan ( bikin jajan dan alat upacara lainnya ).Di hari ini kita di latih kesabaran dan tulus iklas untuk mempersiapkan alat-alat upacara (sesajen) yang akan di persembahkan kehadapan Ida  Sang  Hyang Widhi Waca (Tuhan yang Maha Esa)sebagai rasa bhakti kepadaNya. 18092009182 
selanjutnya adalah Penampahan galungan yaitu adalah hari dimana semua umat hindu melakukan pemotongan hewan, terutama hewan babi. Daging hasil pemotongan ini dimasak pada hari ini, ada yang membuat sate galungan, sate calon, tum, dan lawar galungan, semuanya adalah masakan yang sarat makna dan kmemiliki fungsi sebagai sarana upacara Galungan.
PIC_0364 
Disaat puncak hari raya Galungan semua umat melakukan persembahyangan, mulai dari rumah sendiri sampai dengan Pura-pura Sad Kahyangan di Bali, di hari Galungan ini semua umat melakukan persembahyangan seraya memohon kedamaian dan kebahagiaan lahir batin. Keesokan harinya adalah hari raya manis galungan yang juga sama masih dalam nuansa persembahyangan, namun dibarengi dengan nuansa santai, karena biasanya jaman dahulu, kalau manis galungan adalah hari dimana umat bisa bepergian ke tempat-tempat rekreasi yang ada disekitar lingkungan tempat tinggalnya, atau ada juga yang mengunjungi kolega dan sahabat terdekat untuk bersilaturahmi.