Rabu, 13 Juni 2012

Air Terjun Yeh Poh Manggis

Rencana awalnya sich menuju air terjun yeh labuh di desa selumbung manggis..namun karena terkendala oleh lokasi yang gak da yang tau dari temen” makanya tujuan dialihkan ke air terjun yang ada di desa yeh poh, masih wilayah manggis juga..(ternyata manggis memiliki tempat” menarik juga).
Namun ternyata temen satu rombongan juga ga tau tempatnya, akhirnya kami minta bantuan ke anak” setempat untuk nganterin ke lokasi air terjun.
Sebelumnya gak pernah terbayangkan perjalanan akan jadi begitu sulit dan ekstrem…dengan mendaki cukup terjal di atas jurang” yang cukup dalam di bawah kami, akhirnya kami sampai juga ke lokasi air terjun. Tingginya sekitar 15 meter, walau gak setinggi air terjun yeh labuh yang mencapai 35 meter, atau air terjun jagasatru di selat duda yang mencapai ketinggian 40 meter, tapi melihat air terjun yang lumayan bagus setelah perjuangan keras melewati hutan, membuat hati terpuaskan juga rasanya.
Sambil menikmati pemandangan air terjun di hadapan kami, sekalian kami abadikan dengan foto”:





Senin, 04 Juli 2011

GALUNGAN

Sehubungan dengan jatuhnya Hari Raya Galungan tiga hari mendatang di Bali, maka saya akan membahas sedikit sejarah mengenai Hari Raya Galungan. Semoga dengan ini mereka yang merayakan semakin mendalami makna yang sebenarnya dari Hari Raya Galungan.

 Sejarah Hari Raya Galungan
Kata “Galungan” berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan Dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis.
Agak sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini. Kapan sebenarnya Galungan dirayakan pertamakali di Indonesia, terutama di Jawa dan di daerah lain khususnya di Bali.
Drs. I Gusti Agung Gede Putra (mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI) memperkirakan, Galungan telah lama dirayakan umat Hindu di Indonesia sebelum hari raya itu populer dirayakan di Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kidung Panji Amalat Rasmi.
Tetapi, kapan tepatnya Galungan itu dirayakan di luar Bali dan apakah namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan pasti. Namun di Bali, ada sumber yang memberikan titik terang. Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam lontar itu disebutkan:
Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.
Artinya:
Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.
Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba entah apa dasar pertimbangannya pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu terjadi ketika Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek.
Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu.
Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah Dewa Sraya — artinya mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih.
Karena kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau “bisikan religius” dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan.
Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan).
Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.


Makna Filosofis Galungan

Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia.
Selain itu juga memberi kemampuan untuk membeda-bedakan kecendrungan keraksasaan (asura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad). Harus disadari bahwa hidup yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki kemampuan untuk menguasai kecenderungan keraksasaan.
Galungan adalah juga salah satu upacara agama Hindu untuk mengingatkan manusia secara ritual dan spiritual agar selalu memenangkan Dewi Sampad untuk menegakkan dharma melawan adharma. 
Intinya makna hari Raya Galungan adalah kemenangan dharma ( kebaikan) melawan adharma 
( kejahatan )

Rangkaian kegiatan  Hari Raya Galungan
 
Hari raya Galungan merupakan Hari raya Umat hindu di Bali yang dilaksanakan setiap enam bulan sekali, jadi dalam setahun ada dua kali perayaaan hari Raya Galungan.
Dalam Lontar Sunarigama Hari raya Galungan mepunyai banyak rangkaian kegiatan sebelum maupun sesudahnya antara lain




  • Hari Sugihan Jawa
Sugihan Jawa dirayakan pada hari Wrhaspati Wage Wuku Sungsang, enam hari sebelum Galungan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Sugihan Jawa itu merupakan Pasucian dewa kalinggania pamrastista batara kabeh (Penyucian Dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara).  Pelaksanaan upacara ini adalah dengan membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci. Sugihan Jawa merupakan perayaan dengan persembahyangan  bagi umat Hindu keturunan Majapahit seperti saya dan kebanyakan umat Hindu yang ada di Bali
  • Hari Sugihan bali
Sugihan Bali dirayakan lima hari sebelum Galungan pada Jumat Kliwon Wuku Sungsang  dimana maknanya adalah melakukan penyucian diri sendiri yaitu jasmani dan rohani kita. Disebutkan Kalinggania amretista raga tawulan (Oleh karenanya menyucikan badan jasmani masing- masing). Pada Sugihan Bali ini yang merayakan adalah umat hindu Bali Aga ( masyarakat Hindu asli bali ) , Desa Bali Aga yang penduduknya merupakan penduduk tradisional Bali bisa dilihat di daerah Tenganan, Karangasem Bali.
  • Hari Penyekeban
Tiga hari sebelum Galungan jatuh pada Redite Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa turun mengganggu manusia. Karena itulah pada hari tersebut dianjurkan anyekung jñana, artinya: mendiamkan pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha Galungan (roh jahat). Dalam lontar itu juga disebutkan “nirmalakena” (orang yang pikirannya selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Butha Galungan.
  • Hari Penyajaan
Dua hari sebelum Galungan jatuh pada Senin Pon Dungulan disebut Penyajaan Galungan. Pada hari ini orang yang paham tentang yoga dan samadhi melakukan pemujaan. Dalam lontar disebutkan, “Pangastawaning sang ngamong yoga samadhi.”  
  • Hari Penampahan Galungan
Sehari sebelum Galungan jatuh pada Anggara Wage wuku Dungulan. Pada hari inilah dianggap sebagai hari untuk mengalahkan Butha Galungan dengan upacara pokok yaitu membuat banten byakala yang disebut “pamyakala lara melaradan”. Umat kebanyakan pada hari ini menyembelih babi sebagai binatang korban. Namun makna sesungguhnya adalah pada hari ini hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri. Namun kebiasaan umat sekarang adalah melakukan pemotongan korban sehari pada sehari sebelumnya untuk menghemat waktu sehingga pada Penampahan Galungan biasanya cuma membuat sate, lawar dan macam2 makana untuk sesaji.
Pada hari ini juga dilakukan pembuatan Penjor yang merupakan simbol keagungan dari perayaan Hari raya Galungan

  • Hari Raya Galungan
Maka tibalah saatnya Hari yang ditunggu-tunggu umat Hindu di Bali yakni Hari Raya Galungan jatuh pada Buda Kliwon Dungulan adalah hari memperingati terciptanya alam semesta beserta isinya dan kemenangan dharma melawan adharma Umat Hindu melakukan persembahan kehadapan Sang Hyang Widhi dan Dewa Bhatara/dengan segala manisfestasinya sebagai tanda puji syukur atas rahmatnya serta untuk keselamatan selanjutnya. Sedangkan penjor yang dipasang di muka tiap-tiap perumahan yaitu merupakan aturan kehadapan Bhatara Mahadewa yang berkedudukan di Gunung Agung.
  • Hari Raya Manis Galungan
Demikian urutan upacara yang mendahului Galungan. Sehari setelah hari raya Galungan yaitu hari Kamis Umanis wuku Dungulan disebut Manis Galungan. Pada hari ini umat mengenang betapa indahnya kemenangan dharma. Umat pada umumnya melampiaskan kegembiraan dengan mengunjungi tempat-tempat hiburan terutama panorama yang indah. Juga mengunjungi sanak saudara sambil bergembira-ria.
  • Hari Pemaridan Guru
Hari berikutnya adalah hari Sabtu Pon Dungulan yang disebut hari Pemaridan Guru. Pada hari ini, dilambangkan dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugrah berupa “kadirghayusaan” yaitu hidup sehat panjang umur. Pada hari ini umat dianjurkan menghaturkan canang meraka dan “matirta gocara”. Upacara tersebut barmakna, umat menikmati waranugraha Dewata.


Sumber: Buku “Yadnya dan Bhakti” oleh Ketut Wiana, terbitan Pustaka Manikgeni

PENAMPAHAN GALUNGAN

Selama perayaan Penampahan Galungan mesyarakat Bali membuat persembahan khusus yang dimaksudkan untuk menyingkirkan hal-hal negatif, baik dalam Bhuana Agung (lingkungan dari individu manusia) dan Bhuana Alit (dunia batin manusia); dengan daging babi ata daging ayam yang kemudian disiapkan dan dimasak untuk masakan tradisional Bali seperti Lawar, babi guling, dan sate. Lawar adalah makanan tradisional Bali terdiri dari daging cincang halus, sayuran, kelapa dan berbagai bumbu dan rempah-rempah Anda mungkin tidak pernah mendengar yang disebut “Basa Genep“. Ada banyak jenis Lawar, tergantung pada daging dan nabati yang digunakan. Kombinasi yang paling umum adalah terbuat dari daging babi dan nangka muda.
Terutama anak-anak Bali sangat menantikan Penampahan Galungan karena pesta khas ini penuh dengan banyak hidangan lezat. Namun orang dewasa sangat sibuk selama Penampahan dengan persiapan akhir dari persembahan Galungan. Persiapan dimulai dari fajar, di mana mereka memulai dengan membersihkan dan mendidihkan daging babi dan mempersiapkan bahan lainnya. Setelah itu, semua bahan akan dicincang halus dan bumbu dihaluskan menggunakan ulekan. Meskipun menggunakan blender, masyarakat Bali bersikeras untuk rempah-rempah tetap menggunakan ulekan karena diyakini menghasilkan rasa dan aroma yang lebih baik. Selain Lawar, makanan khas lainnya yang disediakan selama Penampahan adalah tum (campuran daging dan sayuran dibungkus daun pisang), sate lilit (sate cincang Bali), Ares jukut (sup tradisional Bali yang terbuat dari batang pisang).
Pada Penampahan Galungan itu Sang Kala Tiga dalam bentuk Sang Bhuta Amangkurat turun untuk ketiga kalinya dan terakhir ke bumi untuk menggoda umat manusia berbuat adharma. Penampahan berasal dari kata tampah Bali yang berarti ‘(untuk) membunuh, pembantaian’. Pembunuhan hewan dalam hal ini adalah simbolik untuk membunuh ‘hewan dalam diri sendiri’ – kemenangan dari diri yang lebih tinggi atas ego dalam perjuangan mereka untuk mengontrol kekuatan batin individu; secara implisit hal ini melambangkan kemenangan dharma atas adharma.
Pembersihan fisik dan spiritual dari Bhuana Alit dan Agung Bhuana dicapai dengan upacara Bhuta Yadnya khusus (Mabyakala) bagi anggota keluarga dan dengan menyajikan persembahan segehan berwarna untuk Sang Bhuta Galungan untuk melindungi bangunan, pekarangan, senjata, alat-alat kerja, serta anggota keluarga. Upacara Mabyakala harus dilakukan pada sore hari ketika matahari terbenam. Upacara ini, baik secara pribadi dilakukan di kuil keluarga kompleks rumah, atau bersama-sama dengan keluarga lain di Banjar Bale triwulan desa.
Setiap rumah tangga menyajikan persembahan kepada Sang Bhuta Galungan, sebelum kuil sanggah / pemerajan candi rumah, di rumah sendiri dan di ambang pintu gerbang pintu masuk halaman rumah. Penawaran ini terdiri dari tiga set, segehan berwarna (segehan berwarna Kepel), tetabuhan (tuak, arak, brem, air) dan setiap segehan berwarna berisi: 5 porsi nasi putih, ditambah dengan olahan, daging babi panggang, dan 5 genten canang, 9 porsi beras merah, dilengkapi dengan olahan, daging babi panggang, dan 5 genten canang, 4 porsi beras hitam, dilengkapi dengan olahan, daging babi panggang, dan 5 genten canang.
Pada Banjar Bale setiap kuartal desa persembahan segehan berwarna serupa disajikan, dengan agung segehan berwarna tambahan atau penawaran caru (berisi ayam Brumbun panggang). Pada sore hari orang memasang Penjor Galungan di depan rumah mereka – tinggi, dihiasi tiang bambu yang melengkung di bagian atas. Penjor ini adalah jenis persembahan di mana orang mengungkapkan rasa terima kasih mereka bagi kemakmuran bumi yang diberikan pada mereka.
Haluan Penjor mengarah ke Gunung Agung, dan dekorasi buah-buahan dan tanaman adalah simbol bagi tanaman yang dapat tumbuh di mana sungai (simbol untuk air) melewati tanah pertanian dalam perjalanannya ke laut. Penampahan Galungan terjadi sehari sebelum Hari Raya Galungan, pada Selasa minggu ke-11 dari kalender Pawukon Bali, Dungulan.penampahan galungan adalah kegiatan memotong binantang yang di lakukan oleh umat hindu dengan tujuan memotong nafsu yang ada di dalam tubuh kita. kemudian dari sisni tercipta krja sama yang baik dengan individu satu dengan yang lain. terciptalah suasana kekeluargaan yang begitu besar inilah yang di harapkan agara rasa kekeluargaan tercipta dengan baik.
berikut gamar-gambar kegiatan penampahan galungan































































GALUNGAN&KUNINGAN

Hari raya Galungan dan Kuningan adalah salah satu hari raya besar yang diperingati di Bali, Hari raya Galungan dan Kuningan ini sendiri diperingati setiap 6 bulan sekali dalam tanggalan Bali (dalam 1 bulan ada 35 hari ) dan untuk Galungan sendiri tepat jatuh pada Buda Kliwon wuku Dungulan , sedangkan untuk Kuningan jatuh pada Saniscara kliwon wuku kuningan.
Hari raya Galungan dan kuningan secara keseluruhan mempunyai makna kemenangan suci antara Dharma melawan Adharma, yang mana arti dari semua itu sangat luas dan perlu perenungan di dalam diri sendiri, dimana Dharma ( kebaikan ) dan Adharma ( Keburukan ) itu pada awalnya ada di dalam diri kita,jadi kemenangan ini di simboliskan dengan beberapa urutan upacara sebelum mencapai Galungan.
IMG_0013Enam hari sebelum Galungan, diadakan uapacara Sugian Jawa yang mempeunyai makna untuk pembersihan diri dalam menyambut Galungan, selanjutnya Sugian Bali yang maknanya sama dengan sugian jawa.  Kemudian dua hari sebelum hari Galungan ada hari yang dinamakan Penyajaan Galungan ( bikin jajan dan alat upacara lainnya ).Di hari ini kita di latih kesabaran dan tulus iklas untuk mempersiapkan alat-alat upacara (sesajen) yang akan di persembahkan kehadapan Ida  Sang  Hyang Widhi Waca (Tuhan yang Maha Esa)sebagai rasa bhakti kepadaNya. 18092009182 
selanjutnya adalah Penampahan galungan yaitu adalah hari dimana semua umat hindu melakukan pemotongan hewan, terutama hewan babi. Daging hasil pemotongan ini dimasak pada hari ini, ada yang membuat sate galungan, sate calon, tum, dan lawar galungan, semuanya adalah masakan yang sarat makna dan kmemiliki fungsi sebagai sarana upacara Galungan.
PIC_0364 
Disaat puncak hari raya Galungan semua umat melakukan persembahyangan, mulai dari rumah sendiri sampai dengan Pura-pura Sad Kahyangan di Bali, di hari Galungan ini semua umat melakukan persembahyangan seraya memohon kedamaian dan kebahagiaan lahir batin. Keesokan harinya adalah hari raya manis galungan yang juga sama masih dalam nuansa persembahyangan, namun dibarengi dengan nuansa santai, karena biasanya jaman dahulu, kalau manis galungan adalah hari dimana umat bisa bepergian ke tempat-tempat rekreasi yang ada disekitar lingkungan tempat tinggalnya, atau ada juga yang mengunjungi kolega dan sahabat terdekat untuk bersilaturahmi.

Minggu, 03 April 2011

LEAK BALI

Leak merupakan suatu ilmu kuno yang diwariskan oleh leluhur Hindu di Bali.

Pada zaman sekarang ini orang bertanya-tanya apa betul leak itu ada?, apa betul leak itu menyakiti?

Secara umum leak itu tidak menyakiti, leak itu proses ilmu yang cukup bagus bagi yang berminat.

Karena ilmu leak juga mempunyai etika-etika tersendiri.

Filosofi Leak Ngendih di Bali Tidak gampang mempelajari ilmu leak.

Dibutuhkan kemampuan yang prima untuk mempelajari ilmu leak.

Di masyarakat sering kali leak dicap menyakiti bahkan bisa membunuh manusia, padahal tidak seperti itu.

Ilmu leak juga sama dengan ilmu yang lainnya yang terdapat dalam lontar-lontar kuno Bali.

Dulu ilmu leak tidak sembarangan orang mempelajari, karena ilmu leak merupakan ilmu yang cukup rahasia sebagai pertahanan serangan dari musuh.

Orang Bali Kuno yang mempelajari ilmu ini adalah para petinggi-petinggi raja disertai dengan bawahannya.

Tujuannya untuk sebagai ilmu pertahanan dari musuh terutama serangan dari luar.

Orang-orang yang mempelajari ilmu ini memilih tempat yang cukup rahasia, karena ilmu leak ini memang rahasia.

Jadi tidak sembarangan orang yang mempelajari.

Namun zaman telah berubah otomatis ilmu ini juga mengalami perubahan sesuai dengan zamannya.

Namun esensinya sama dalam penerapan.
Yang jelas ilmu leak tidak menyakiti.

Yang menyakiti itu ilmu teluh atau nerangjana, inilah ilmu yang bersifat negatif, khusus untuk menyakiti orang karena beberapa hal seperti balas dendam, iri hati, ingin lebih unggul, ilmu inilah yang disebut pengiwa.

Ilmu pengiwa inilah yang banyak berkembang di kalangan masyarakat seringkali dicap sebagai ilmu leak.

Kata leak sudah mendarah daging di benak masyarakat hindu di Bali atau asal Bali yang tinggal di perantauan sebab kata-kata ini sangat sering kita dengar dan membuat bulu kuuk merinding atau hanya sekedar ga berani keluar malam gara-gara kata "leak" ini. Begitu juga keributan sering terjadi antar tetangga gara-gara seorang nenek di sebelah rumah di tuduh bisa ngeleak…ironisnya lagi yang menyebut si A atau B bisa ngeleak adalah sekelas balian sonteng, dan sebangsanya. Bahkan bayi menangis tengah malam, yang mungkin kedinginan atau perut kembung yang tidak di ketahui oleh ibunya, juga tuduhannya pasti "amah leak" apalagi kalau yang bilang balian sakti, wah…pasti tokcer..
Sedemikian parahkah, atau sangat saktikah leak tersebut, dan kalausaya tanya kepada pembaca semua pernahkah melihat leak, atau paling tidak mayat leak…paling yang ada mayat manusia… Apakah hal itu tidak lebih sebuah anggapan yang perlu di telusuri kebenarannya, sebab arti kata leak itu sendiripun kita jarang yang tahu… Asumsi kita tentang leak paling-paling rambut putih dan panjang, gigi bertaring, mata melotot, dan identik dengan wajah seram.. Hal inilah yang membuat kita semakin tajam mengkritik leak dengan segala sumpah serapah, atau hanya sekedar berpaling muka bila ketemu dengan orang yang bisa ngeleak…
Pada dasarnya ilmu leak adalah ilmu kerohanian yang bertujuan untuk mencari pencerahan lewat aksara suci. Dalam aksara Bali tidak ada yang disebut dengan leak, yang ada adalah " LIYA, AK yang berarti lina aksara ( memasukkan dan mengeluarkan kekuatan aksara dalam tubuh melalui tata cara tertentu). Kekuatan aksara ini disebut panca gni aksara, siapapun manusia yang mempelajari kerohanian merk apapun apabila mencapai puncaknya dia pasti akan mengeluarkan cahaya ( aura). Cahaya ini bisa keluar melalui lima pintu indra tubuh , telinga, mata, mulut, ubun-ubun, serta kemaluan. Pada umumya cahaya itu keluar lewat mata dan mulut, sehingga apabila kita melihat orang ngelekas di kuburan atau tempat sepi, api seolah-olah membakar rambut orang tersebut.
Pada prinsipnya ilmu leak tidak mempelajari bagaimana cara menyakiti seseorang, yang di pelajari adalah bagaimana dia mendapatkan sensasi ketika bermeditasi dalam perenungan aksara tersebut. Ketika sensasi itu datang, maka orang itu bisa jalan-jalan keluar tubuhnya melalui ngelekas atau ngerogo sukmo, kata ngelekas artinya kontraksi batin agar badan astral kita bisa keluar, ini pula alasannya orang ngeleak apabila sedang mempersiapkan puja batinnya di sebut "angeregep pengelekasan". Sampai di sini roh kita bisa jalan-jalan dalam bentuk cahaya yang umum di sebut "ndihan" bola cahaya melesat dengan cepat. Ndihan ini adalah bagian dari badan astral manusia, badan ini tidak dibatasi oleh ruang dan waktu dan di sini pelaku bisa menikmati keindahan malam dalam dimensi batin yang lain.
Jangan salah… dalam dunia pengeleakan ada kode etiknya, sebab tidak semua orang bisa melihat ndihan, juga tidak sembarangan berani keluar dari tubuh kasar kalau tidak ada kepentingan mendesak. Peraturan yanglain juga ada seperti tidak boleh masuk atau dekat dengan orang mati, oang ngeleak hanya shopingnya di kuburan ( pemuhunan) apabila ada mayat baru, anggota leak wajib datang ke kuburan untuk memberikan doa agar rohnya mendapat tempat yang baik sesuai karmanya, begini bunyi doanya leak memberikan berkat, "ong, gni brahma anglebur panca maha butha, anglukat sarining merta, mulihankene kite ring betara guru, tumitis kita dadi manusia mahutama, ong rang sah, prete namah.." sambil membawa kelapa gading untuk dipercikkan sebagai tirta. Nah..di sinilah ada perbedaan pandangan bagi orang awam dikatakan leak ke kuburan memakan mayat, atau meningkatkan ilmu.
KENAPA HARUS DI KUBURAN…
Paham leak adalah apapun status dirimu menjadi manusia, orang sakti, sarjana, kaya, miskin, akan berakhir di kuburan. Tradisi sebagian orang di India tidak ada tempat yang tersuci selain di kuburan, kenapa demikian di tempat inilah para roh berkumpul dalam pergolakan spirit, bagi penganut tantric bermeditasi di kuburan di sebut meditasi "KAVALIKA". Di Bali kuburan dikatakan keramat, karena sering muncul hal-hal yang meyeramkan, ini disebabkan karena kita jarang membuka lontar "tatwaning ulun setra" sehingga kita tidak tahu sebenarnya kuburan adalah tempat yang paling baik untuk bermeditasi dan memberikan berkat doa. Sang Buda kecapi, Mpu kuturan, Gajah Mada, Diah Nateng Dirah, Mpu Bradah, semua mendapat pencerahan di kuburan, di Jawa tradisi ini di sebut " TIRAKAT. Di Bali ada beberapa daerah yang terkesan lucu mengganggap kuburan adalah tempat sebel, leteh, ketika ada orang meninggal, atau ngaben, tidak boleh sembahhyang ke pura karena sebel, padahal.. kalau ngaben kita juga mengahaturkan panca sembah kepada Hyang Widi di kuburan, lantas di mana letak beda sebel Pura dan sebel kuburan bagi TUHAN ? itu hanya awig-awig manusia. Leak juga mempunyai keterbatasan tergantung dari tingkatan rohani yang dipelajari, ada tujuh tingkatan leak, leak barak (brahma) ini baru bisa mengeluarkan cahaya merah api, leak bulan, leak pemamoran, leak bunga, leak sari, leak cemeng rangdu, leak siwa klakah, leak siwa klakah inilah yang tertinggi, sebab dari ke tujuh cakranya mengeluarkan cahaya yang sesuai dengan kehendak batinnya. Setiap tingkat mempunyai kekuatan tertentu, di sinilah penganut leak sering kecele, ketika emosinya labil ilmu tersebut bisa membabi buta atau bumerang bagi dirinya sendiri. Hal inilah membuat rusaknya nama perguruan, sama halnya seperti pistol salah pakai berbahaya. Makanya kestabilan emosi sangat penting, dan di sini sang guru sangat ketat sekali dalam memberikan pelajaran.
BEDA PENESTIAN, PENGIWA, DAN LEAK.
Selama ini leak dijadikan kambing hitam sebagai biang ketakutan serta sumber penyakit, atau aji ugig bagi sebagian orang. Padahal ada aliran yang memang spesial mempelajari ilmu hitam disebut "penestian" ilmu ini memang dirancang bagaimana membikin celaka, sakit, dengan kekuatan batin hitam ini disebut " PENGERANCAB". Adapun caranya adalah dengan memancing kesalahan orang lain sehingga emosi, setelah emosi barulah dia bereaksi, jadi emosi dijadikan pukulan balik bagi penestian. Dalam ajaran penestian menggunakan ajian-ajian tertentu, seperti aji gni salembang, aji dungkul, aji sirep, aji penangkeb, aji pengenduh, aji teluh teranjana, termasuk aji nomoto, he..he.. Aliran ini disebut "pengiwa' ( tangan kiri) kenapa tangan kiri, sebab setiap menarik kekuatan selalu memasukan energy dari belahan badan kiri. Sedangkan ilmu leak dari tangan kanan, makanya disebut penengen ( tangan kanan). Pengwia banyak menggunakan rajah-rajah ( tulisan mistik) juga dia pintar membuat sakit dari jarak jauh, dan dijamin tidak bisa dirontgen dan di lab, dan yang paling canggih adalah cetik ( racun mistik). Dan aliran ini bertentangan dengan pengeleakan, apabila perang beginilah bunyi mantranya, "ong siwa gandu angimpus leak, siwa sumedang anundung leak, mapan aku mapawakan segara gni..bla..bla…". Jadi kesimpulannya adalah leak tidak perlu di takuti, tidak ada leak yang menyakiti, takutlah terhadap pikiran picik, dengki, sombong, pada diri kita sebab itu sumber pengiwa dalam tubuh kita. Bila tidak diantisipasi tekanan darah jadi naik, dan penyakit tiga S akan kita dapat, Stres, Stroke, Setra. Pada hakekatnya tidak ada ilmu putih dan hitam semua itu hati yang bicara, boleh jadi dasar ilmu yang di anut hitam, namun digunakan untuk kebaikan, dan sangat tercela dasar ilmu putih kita gunakan untuk kejahatan. Sama halnya seperti hipnotis, bagi psikiater ilmu ini untuk penyembuhan, tapi bagi penjahat ilmu ini untuk mengelabui serta menipu seseorang, tinggal kebijaksanaan kita yang berperan. Pintar, sakti, penting namun..ada yang lebih penting adalah kebijaksanaan akan membawa kita berpikir luas, dari pada mengumpat serta takut pada leak yang belum tentu kita ketemu tiap hari.
Sebelum seorang belajar ilmu leak terlebih dahulu harus diketahui otonan orang tersebut ( hari lahir versi Bali) hal ini sangat penting, karena kwalitas dari ilmu yang dianut bisa di ketahui dari otonanya, satu contoh apabila murid mempunyai otonan SUKRA PON MEDANGSIA berarti dewanya adalah Brahma, otomatis karakter orang tersebut cendrung emosional dalam hal apapun, dan digandrungi perempuan, nah..sang guru harus hati-hati memberikan pelajaran ini kalau tidak murid akan celaka oleh ilmu tersebut.
Setelah diketahui barulah proses belajar di mulai, pertama-tama murid harus mewinten Brahma widya, dalam bahasa lontar NGERANGSUKAN KAWISESAN, dan hari baik pun tentunya dipilih oleh sang GURU.Tahap dasar murid diperkenalkan dengan AKSARA WAYAH atau MODRE, dalam hal ini tidak bisa dieja aksara tersebut BAKU !!! Selajutnya murid diRajah seluruh tubuh dari atas sampe bawah...oleh sang guru, hal ini di lakukan di KUBURAN pada saat kajeng kliwon nyitan.
SUMPAH...
Selesai dari proses ini barulah sang murid sah diajarkan oleh sang guru, ada 5 sumpah
yang dilakukan di kuburan : 1 hormat dan taat dengan ajaran yang di berikan oleh guru 2 Selalu melakukan ajapa-ajapa dan menyembah SIWA Dan DURGA dalam bentuk ilmu kawisesan, 3 tidak boleh pamer kalau tidak kepepet, selalu menjalankan darma, 4 tidak boleh makan daging kaki empat, tidak boleh bersetubuh ( zina) 5 tidak boleh menyakiti atau dengan carapapun melalui ilmu yang kita
pelajari...
Mungkin karena peraturan no 4 ini sangat ditakuti akhirnya kebanyakan ilmu ini di pelajari oleh perempuan, sebab perempuan lebih kuat menahan nafsu birahi dari laki-laki. Di Bali yang namanya Rangda selalu indentik dengan wajah seram, tapi di jawa di sebut RONDO berarti janda, inilah alasanya kenapa dahulu para janda lebih menguasai ilmu pengeleakan ini dari pada laki-laki, dikarenakan wanita lebih kuat nahan nafsu... Pada dasarnya kalau boleh
saya katakan ilmu ini berasal dari tanah Jawa, campuran aliran SIWA dan BUDHA, yang di sebut dengan BAJRAYANA.
TINGKATAN PELAJARAN...
Tingkat satu kita diajari bagaimana mengendalikan pernafasan, di bali dan bahasa lontar di sebut MEKEK ANGKIHAN, atau PRANAYAMA.
Tingkat dua kita diajarkan VISUALISASI, dalam ajaran ini di sebut " NINGGALIN SANGHYANG MENGET"
Tingkat tiga kita diajar bagaimana kita melindungi diri dengan tingkah laku yang halus serta tanpa emosi dan dendam, di ajaran ini di sebut "PENGRAKSA JIWA.
Tingkat empat kita di ajar kombinasi antara gerak pikiran dengan gerak tubuh, dalam bahasa yoga di sebut MUDRA, karena mudra ini berupa tarian jiwa akhirnya orang yang melihat atau yang nonton di bilang " NENGKLENG ( berdiri dengan kaki satu ).
Mudra yang kita pelajari persis seperti tarian siwa nata raja.
Tingkat empat barulah kita diajar MEDITASI, dalam ajaran pengeleakan disebut " NGEREGEP, yaitu duduk bersila tangan disilangkan di depan dada sambil mengatur pernafasan sehingga pikiran kita tenang...atau ngereh, dan ngelekas..
Tingakat lima kita di ajarkan bagaimana melepas roh ( MULIH SANGHYANG ATMA RING BAYU SANDA IDEP ) melalui kekluatan pikiran dan batin dalam bahasa sekarang disebut LEVITASI, berada di luar badan. Pada saat levitasi kita memang melihat badan kita terbujur kaku tanpa daya namun kesadaran kita sudah pindah ke badan halus, dan di sinilah orang disebut berhasil dalam ilmu leak tersebut, namun..ini cukup berbahaya kalau tidak waspada dan kuat iman serta mental kita akan keliru, bahkan kita bisa tersesat di alam gaib. Makanya kalau sampai tersesat dan lama bisa mati, ini disebut mati suri, maka begawadgita benar sekali, ( apapun yang kamu ingat pada saat kematian ke sanalah kamu sampai...dan apapun yang kamu pikirkan begitulah jadinya )
Tentu dalam pelajaran ini sudah pasti dibutuhkan ketekunan, puasa, berbuat baik, sebab ilmu ini tidak akan berhasil bilamana dalam pikiran menyimpan perasaan dendam, apalagi kita belajar ilmu ini untuk tujuan tidak baik saya yakin tidak akan mencapai tujuannya. Kendati demikian godaan selalu akan datang seperti, nafsu sek meningkat, ini alasanya kenapa tidak boleh makan daging kaki empat, dan kita diajurkan tidur di atas jam 12 malam agar konisi agak lemah sehingga nafsu sek berkurang..kata guru saya kalau ada orang mempelajari leak tidur sore-sore disebut LEAK SANJE didoktrin, padahal menurut saya agar kondisi agak lemah saja. Dan tengah malam tepat jam 12 kita diwajibkan untuk meditasi sambil mencoba melepas roh, tapi di ajurkan yang deket-deket dulu, jangan coba-coba shoping ke MONAS dari BALI...he,he.. yach...paling-paling ke parit, sawah, atau ke sungai,..
Celakanya apabila kita melepas ROH pas lewat di rumah tetangga yang sedang mempunyai BAYI otomatis bayi tersebut pasti terbangun dan menagis teriak-teriak, hal ini disebabkan frekwensi bayi sama seperti kita. sebab bayi masih peka banget. Bayi tersebut tidak takut cuma kaget aja ada SEPLETERAN yang lewat, kayak handphone adu signal n blenggg...inilah yang dikatakan sama orang awam bahwa bayi itu di " AMAH LEAK" padahal tidak. Maka dari itu dalam dunia leak, ada aturan dilarang keras untuk lewat atau berada di keluraga yang mempunyai bayi untuk melepas ROH..( ngelekas, ngereh, ). Nah...bagi yang jahil tidak tertutup kemungkinan melepas roh dan mondar mandir di depan rumah orang yang punya bayi, ini yang sering terjadi di BALI, sehingga leak namanya rusak banget dan di tuduh nyakitin. Apalagi ada orang sakit keras, kita iseng lewat atau sekedar jenguk melalui ROH sudah dipastikan orang tersebut kaget dan bisa jadi denyut jantung berhenti, alhasil MATI inilah hal-hal yang oleh orang awam di katakan bahwa leak itu jahat...makanya sang balian yang bijak akan memagari rumah orang sakit atau yang punya bayi itu dengan aksara tertentu, yang artinya sebagai simbul PARA PENGANUT LEAK DILARANG MASUK !!!
Apabila ini di langgar perang atara leak dan balian pun terjadi masalah kalah dan menang tergantung sapa yang mumpuni, disini tidak lagi berbicara dari fakultas mana, atau universitas mana tapi sudah PERANG...KAWISESAN>>> Nah inilah yang sering terjadi di Bali yang di sebut dengan SIAT PETENG, pada umumnya dari pihak leak yang sering kalah, sebab leak tidak mempelajari ilmu menyerang..namun ilmu bertahan, sedangkan balian bisa saja ngiwa tengen, positif negatif..udah pasti dia yang menang, nyakitin bisa, ngobati juga bisa, ini yang di sebut balian ngiwa tengen...
Pada umumnya, penganut ilmu leak ( ngisinin jengah) ..terpacing emosi, inilah kelemahanya apabila itu terjadi sudah dipastikan ilmu hitam yang menang sebab emosi adalah makanan ilmu hitam... Kalau penganut ilmu leak memegang teguh janjinya dia tidak akan berontak bilamana terpancing emosinya, malah dia mendoakan dan memaafkan sudah pasti dia yang menang..sebab itulah dasar ilmu leak tersebut, sabar dan darma untuk mencapai tujuan.
SANGKEPAN LEAK....
Kata ini juga sering kita denger sehingga timbul pertanyaan apakah LEAK ada rapatnya, atau REUNI, serta bagi ibu-ibu ARISAN LEAK, TEMPEK INI, DAN ITU, he,he,hahhha.. Yang bener adalah dalam dunia leak sama seperti perkumpulan spiritual, pada hari-hari tertentu pada umumnya KAJENG KLIWON, kaum leak mengadakan puja bakti bersama memuja SIWA, DURGA, BERAWI, biasanya di pura dalem atau di Kuburan, Prajapti..dalam bentuk NDIHAN, bukan kera, anjing, dan lain-lain.
Saya tekankan lagi sekali ilmu leak bukan ilmu merubah wujud, jadi kalu ada yang bilang melihat KERA, PITIK BEGIL dan lain-lain itu yang melihat kena sihir, akibat biasa nonton PERCAYA GA PERCAYA, atau UJI NYALI... jadi kata sangkepan leak bisa dibenarkan namun..sesungguhnya bukan rapat tapi puja bakti, hanya itu !!! dan hal ini sekarang sudah langka baget..sebab para leak udah pindah ke kota semua he..he..apalagi sekarang banyak LEAK MATAH...he,he, berbuat jahat mengatasnakaman kebenaran tuk mencapai tujuan
KEKUATAN LEAK TERLETAK PADA SIHIRNYA...
Baru-baru ini saya dishoting oleh stasiun TV Saswta Jakarta , dan maaf saya tidak sebutkan, sebagai uji coba bisa ga di shot oleh kamera. Saya tahu beberapa orang yang mencela serta apriori dengan ilmu leak, terutama kru TV tersebut, di sinilah kelemahan orang tersebut bagi saya...lalu saya suruh menatap mata saya, dan baca mantra..abrakedabra...tiga kru TV lari..sambil menjerit...katanya dia melihat saya kayak patung Rangda, yang kebetulan sebelum shoting saya ajak ke pasar SUKAWATI untuk liat-liat patung-patung meyeramkan itu...he,he he..sedangkan ada lagi 3 orang yang saya tahu imannya cukup bagus, dia melihat saya biasa-biasa aja....
Makanya tidak gampang NGELEAKIN ORANG, apalagi orang tersebut kuat iman, rajin meditasi, berdoa, sampe berbuih pun mulut kita komat-kamit baca mantra, gak bisa bikin takut, paling-paling diledekin, kok tidak berubah....he he he he..
Makanya cobalah SEMETON tanya dan kumpulkan 10 orang pernahkah mendengar leak..jawbnya PERNAHHHHHHH...pernakah melihat leak..TIDAKKKKKKKK...tidak setiap orang mampu melihat leak dan tidak setiap leak berkuasa atas diri orang lain.
DASA AKSARA BUKAN DASAR ILMU LEAK...
Pernah mendengar dasa aksara atau yang umum di jabarkan sebagai berikut, SANG, BANG, TANG, ANG, ING, NANG, MANG, SING, WANG, YANG. ilmu ini adalah dasar dari sepuluh prana atau DASA BAYU.. dasa aksara ini mempunyai arti memuliakan dewa SIWA, seperti SAGORA, BAMADEWA, TATPURUSHA..dan selanjutnya. Dasa aksara ini murni dibawa oleh aliran SIWA SHIDANTA dan bagian untuk mencapai pencerahan batin melalui aksara tersebut, hasilnya hampir mirip sama-sama mengeluarkan CAHAYA namun tidak spesifik..Sedangkan PANCA GNI WIJAKSARA, sangat spesifik sekali, SAYANG...SEMETON..saya tidak berani katakan sebab ini bagian dari sumpah saya...untuk tidak mengatakan hal ini, kecuali semeton mau belajar...he,he...
Dasa aksara lebih banyak akan mengakses kedunia kerohanian bukan KEWISESAN(KEBIJAKSANAAN) ...sehingga dasa akasara ini akan mencapai puncaknya apabila seseorang memurnikan batinya melalui dasa yama brata, dan ini murni ilmu krohanian...
Jadi demikian semeton yang bisa saya sampaikan, mudah mudahan tulisan ini menambah wawasan di bidang ilmu leak sehingga besok-besok kita tidak MILU_MILU TUWUNG mengatakan LEAK itu jahat..atau tanpa tahu sebabnya kita getok KULKUL supaya banjar datang tuk menggerebeg orang yang di katakan bisa NGELEAK. Seperti kata semeton juga, YA SAKTI SANG SAJANA DARMA RAKSAKA, orang yang bijaksana pasti berpegang teguh pada DARMA, dan orang yang berpegang darma sudah pasti bijaksana.
Orang yang sakti belum tentu suci hatinya, namun orang yang suci sudah pasti SAKTI tingkah lakunya, jaman sekarang sulit membedakan mana yang benar dan mana yang tidak benar, kecuali bertanya pada kedalaman hati kita masing-masing... sebuah lentera akan padam apinya, apabila minyaknya megering, namun jangan pernah padamkan api rohani n kebersamaan melalui persahabatan...

Minggu, 23 Januari 2011



NGUREK
“ANTARA SENI  TRADISI DAN MAGIS”


OLEH :
ERNO
09.8.03.51.30.15.1453


UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR
KAMPUS II A AMLAPURA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (FKIP) MATEMATIKA
2011

KATA PENGANTAR

          Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ NGUREK : antara seni tradisi dan magis”.
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas akhir semester mata kuliah Agama, dimana bahannya kami peroleh dari membaca beberapa sumber,baik dari buku,media cetak,media elektronik,dan internet.
Kami berharap dengan adanya makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.Walaupun demikian, kami juga sangat menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Maka kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat diperlukan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Tuhan Yang Maha Esa meridhoi kita semua.

                                                                   Amlapura,  Januari 2011

  Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................       i
DAFTAR ISI.......................................................................................       ii
BAB I   PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah................................................     1
1.2  Rumusan Masalah........................................................      2
1.3  Tujuan Penulisan..........................................................      3
1.4  Manfaat Penulisan........................................................      3
1.5  Metode Penulisan.........................................................     4 
BAB II  ISI
2.1  Pengertian Ngurek.......................................................      5
2.2  Makna Ritual Ngurek...................................................      9
2.3  Jenis-Jenis Ngurek.......................................................    13
2.4  Gerakan Ngurek..........................................................    16
2.5  Cara Menangani Orang Ngurek....................................    17
2.6  Kecelakaan Ngurek.....................................................    20
2.7  Pencegahan Kecelakaan Ngurek..................................    23

BAB III PENUTUP
3.1  KESIMPULAN..........................................................    27
3.2  SARAN......................................................................    28

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1            Latar Belakang
Disamping keindahan alam yang sudah terkenal di dunia internasional, Bali terkenal dengan ragam budaya dan tradisi yang beraneka macam, keunikan tradisi tersebut terkadang membuat orang yang melihatnya berdecak penuh kekaguman. Salah satu tradisi yang menarik perhatian adalah ritual “Ngurek” yang sering dipertunjukkan dalam prosesi upacara keagamaan di Bali. Ritual Ngurek banyak menimbulkan keingintahuan karena dalam pelaksanaannya memadukan unsur seni dan mistis. Orang yang melakukan prosesi Ngurek seakan dibantu oleh kekuatan gaib, dalam keadaan tidak sadar melakukan hal-hal yang tidak masuk akal. Orang yang sedang Ngurek akan menusuk anggota tubuhnya sendiri dengan senjata tajam, tetapi walau demikian tak sedikitpun dia terluka.
Karena keunikan tradisi ini membuat minat wisatawan untuk menonton menjadi besar, maka mulailah dikembangkan Ngurek untuk pertunjukan pariwisata, yang dilaksanakan bukan untuk ritual upacara keagamaan, namun sebatas pertunjukan seni bagi para wisatawan.
1.2            Rumusan Masalah
Dari sedikit ulasan tentang latar belakang tradisi Ngurek di atas, maka akan timbul rasa penasaran mengenai tradisi yang unik ini. Berbagai pertanyaan muncul seperti harapan orang yang sedang lapar menginginkan makanan lezat, bagaikan orang kehausan yang merindukan segelas air pelepas dahaga. Maka untuk memperoleh jawaban tentang keberadaan tradisi Ngurek yang misterius, dapat dirumuskan masalah-masalah yang akan dibahas dalam makalah ini antara lain :
1.2.1    Apa sebenarnya pengertian dari Ngurek ?
1.2.2    Apa makna dari ritual Ngurek tersebut ?
1.2.3    Apa saja jenis-jenis dari Ngurek ?
1.2.4    Seperti apa gerakan pada saat Ngurek ?
1.2.5    Bagaimana cara menangani orang yang sedang Ngurek ?
1.2.6    Apa saja yang bisa menyebabkan terjadinya kecelakaan pada saat melakukan ritual Ngurek ?
1.2.7    Apa yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya kecelakaan pada saat Ngurek ?



1.3            Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.3.1    Untuk mengetahui pengertian dari ritual Ngurek secara benar.
1.3.2    Untuk mengetahuai apa makna dibalik pelaksanaan Ngurek.
1.3.3    Agar kita mengetahui apa saja jenis-jenis dari ritual Ngurek.
1.3.4    Supaya kita bisa tahu bagaimana gerakan dari orang yang sedang Ngurek.
1.3.5    Untuk mengetahui cara menangani orang yang sedang Ngurek.
1.3.6    Agar kita mengetahui apa saja yang bisa menyebabkan terjadinya kecelakaan pada saat ritual Ngurek.
1.3.7    Untuk mengetahui bagaimana cara mencegah kecelakaan saat Ngurek.

1.4            Manfaat Penulisan
Manfaat yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini adalah agar setelah membaca tulisan ini orang akan mendapat pengetahuan tambahan tentang keragaman kebudayaan Bali pada umumnya serta keunikan tradisi Ngurek pada khususnya. Sehingga masyarakat bali bisa menyadari keunikan budaya mereka, yang nantinya akan menumbuhkan rasa memiliki budaya Bali, serta keinginan untuk melestarikannya demi masa depan kebudayaan Bali.
1.5            Metode Penulisan
Metode yang kami pakai dalam penulisan makalah ini antara lain adalah :
1.5.1    Mengumpulkan beberapa ide atau gagasan awal.
1.5.2    Memilih salah satu ide atau gagasan yang tepat.
1.5.3    Mengubah ide menjadi topik dan judul tulisan.
1.5.4    Membuat rancangan tulisan.
1.5.5    Mencari sumber bacaan yang sesuai baik dari buku-buku, maupun dari internet.
1.5.6    Membuat intisari-intisari dari sumber bacaan yang telah diperoleh.
1.5.7    Menyusun intisari-intisari tersebut sesuai dengan kerangka tulisan yang telah dibuat.
1.5.8    Mengembangkan intisari bacaan sesuai dengan data, fakta, informasi, dan analisa tambahan sehingga diperoleh tulisan yang lengkap.




BAB II
ISI

2.1.    Pengertian Ngurek
          Tradisi Ngurek atau Ngunying hingga kini masih dilestarikan oleh masyarakat Bali. Tradisi tersebut terdapat di sejumlah daerah di Bali. Tradisi ini umumnya berkaitan erat dengan ritual keagamaan. Bahkan, di sejumlah desa adat di Bali tradisi ini wajib dilangsungkan.
          Tradisi Ngurek di Bali merupakan wujud bhakti seseorang kepada Sang Hyang Widhi Wasa. Atraksi menusuk diri dengan keris ini berlangsung ketika para pelaku berada dalam keadaan kerauhan (trance). Ini sebuah keunikan sekaligus misteri yang sulit dijelaskan oleh akal sehat, namun amat biasa bagi orang Bali.
          Ngurek  berasal dari kata ‘ urek ’ yang berarti lobangi atau tusuk, jadi Ngurek dapat diartikan berusaha melobangi atau menusuk bagian tubuh sendiri dengan keris,tombak,atau alat lainnya saat berada dalam kondisi kerauhan. Karena Ngurek dilakukan dalam kondisi kerauhan, maka roh lain yang memasuki tubuh akan memberi kekuatan, sehingga menjadi kebal.
          Tradisi Ngurek biasa dilakukan di luar areal pura utama. Sebelum Ngurek dilakukan, biasanya Barong dan Rangda serta orang yang biasa Ngurek (juru urek) yang juga biasa disebut dengan ‘pepatih’ keluar dari kompleks pura utama dan mengelilingi wantilan pura sebanyak 3 kali. Saat melakukan hal itulah, para pepatih mengalami titik kulminasi spiritual tertinggi dan keris pun langsung ditancapkan ke bagian tubuhnya tanpa terluka sedikitpun. Ngurek sendiri memiliki gaya masing-masing, ada yang berdiri sambil menancapkan keris ke bagian tubuhnya dan ada pula yang bersandar di pelinggih kemudian menancapakn keris ke tubuhnya sendiri. Setelah upacara selesai, para pelaku Ngurek kembali ke areal pura utama.
          Menurut sejarahnya, tradisi Ngurek bersumber dari ritual keagamaan di Bali. Biasanya dilakukan saat upacara Dewa Yadnya yang disebut Ngeramen di pura, sanggah (merajan) dan paibon. Prosesi sakralnya berbeda-beda antara daerah satu dengan lainnya.
          Tradisi Ngurek tidak hanya dilakukan di Bali, tapi juga terdapat di daerah lain. Misalnya di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan, kebiasaan ini dilakukan oleh mereka yang disebut juru doa, mirip dengan balian atau dukun. Para juru doa ini diundang untuk memimpin hajatan. Manakala ritual berlangsung, juru doa akan mengalami kerauhan dan langsung mencabut keris kecil yang terselip di pinggangnya kemudian menusuk telapak tangannya sendiri, berlanjut menikam dada dan perutnya. Fenomena sejenis juga dapat disaksikan dalam kesenian tradisional suku Jambi yang menampilkan tarian berkolaborasi dengan budaya magis. Pada puncak tarian si penari wanita akan menusukkan dua pedang yang tadi dipakai menari ke tubuhnya sendiri dalam keadaan kerauhan.
          Pada masyarakat Hindu India, khususnya penyembah Durga Ma dalam perayaan Tiruwila juga biasa menampilkan atraksi serupa. Hanya saja mereka benar-benar menusuk bagian anggota tubuhnya seperti lidah, pipi, tangan, dan perut mereka  hingga tembus dengan benda-benda tajam. Adegan ini sebenarnya merupakan satu aktivitas ritual bagi pemuja sakti, dengan menghadirkan kekuatan supranatural, roh-roh gaib untuk membantu atraksi, sehingga tidak sampai membahayakan nyawa mereka.
          Kondisi kerauhan (trance) bisa diupayakan, namun sulit diduga mengenai waktu maupun orang yang mungkin akan kerauhan. Orang yang disiapkan untuk kerauhan bisa jadi tidak mengalami apa-apa. Sebaliknya justru pada partisipan lainnya yang mengalami kerauhan. Trance dalam Ngurek biasanya terjadi atau diupayakan dengan prosesi ritual khusus. Untuk mencapai klimaks kerauhan, mereka harus melakukan serangkaian ritual. Tahap-tahap itu secara garis besar dapat dibagi tiga yakni Nusdus, Masolah, Ngaluwur. Nusdus adalah merangsang para pelaku ngurek dengan asap asap yang beraroma harum menyengat. Masolah merupakan tahap menari dengan iringan lagu-lagu dan koor kecak atau bunyi gamelan. Sedangkan Ngaluwur berarti mengembalikan pelaku Ngurek pada jati dirinya.
          Dari fenomena Ngurek yang berkembang saat ini dan membandingkannya dengan tradisi serupa di sejumlah ritual Hindu di tempat lain, atau pada keyakinan agama lain di suatu daerah, maka Ngurek merupakan perpaduan antara dua hal. Pertama. Tradisi ini merupakan kebiasaan masyarakat Bali Purba dari zaman animisme-dinamisme, dimana saat upacara mengundang roh leluhur dilakukan, para roh diminta untuk berkenan memasuki badan orang-orang yang telah ditunjuk. Bagi masyarakat animisme-dinamisme, kerauhan yang diikuti atraksi Ngurek dipercaya sebagai sebuah tanda, bahwa roh-roh yang diundang telah hadir di sekitar mereka. Kedua. Tradisi Ngurek bagi masyarakat Hindu Bali di beberapa daerah memiliki fungsi mirip dengan kepercayaan animisme, tetapi bedanya tidak dalam rangka mengundang roh leluhur, namun mengundang Ida Bhatara dan para Rencang-Nya untuk berkenan menerima persembahan ritual saat upacara piodalan. Jika orang-orang yang ditunjuk sudah kerauhan dan mulai Ngurek, maka masyarakat bisa mengetahui dan meyakini kalau Ida Bhatara sudah tedun dan berkenan katuran piodalan. Dengan turunnya Ida Bhatara ke marcapada (dunia), maka umat yang mengikuti prosesi ritual piodalan ini kian mantap dengan semangat bhaktinya.

2.2     Makna Ritual Ngurek
          Ngurek merupakan bagian dari yadnya atau pengorbanan yang tulus ikhlas seorang hamba kepada Tuhannya. Hampir semua agama memiliki cara tersendiri dalam melakukan pengorbanan diri sebagai tanda bhakti kepada Tuhan. Seperti misalnya ketentuan selibat (membujang) dalam ajaran agama Kristen, kewajiban berpuasa atau tidak makan dan minum dari pagi hari sampai sore hari selama satu bulan dalam agama Islam, meditasi dan ajaran vegetarian dalam agama Budha, kemudian dalam Hindu sendiri banyak jenis ajaran pengorbanan diri, mulai dari puasa, yoga, brahmachari, Ngurek, dan sebagainya.
          Dalam sebuah ritual upacara di Bali, selain dengan mempersembahkan berbagai bentuk bebantenan, ada juga komponen persembahan lain, seperti misalnya tarian, musik atau gamelan, kidung, dan beragam bentuk persembahan lainnya. Ngurek sendiri merupakan persembahan dalam bentuk tari-tarian yang intinya adalah mengorbankan diri dengan cara kerelaan ditikam (disakiti) untuk menunjukkan kepatuhan pada Sang Maha Pencipta. Dalam atraksi Ngurek inilah setiap peserta mengekspresikan dirinya, secara simbolik ingin mengorbankan dirinya kepada dewa yang dipujanya. Menusuk badan sendiri jelas menimbulkan rasa sakit secara alamiah. Namun, secara umum cara penyiksaan badan sebagai wujud kecintaan kepada yang dipuja hampir menjadi pola umum dalam setiap sistem kepercayaan, hanya saja bentuknya yang berbeda-beda.
          Dalam agama Hindu ada upacara potong rambut atau juga potong gigi (metatah) sebagai bentuk riil mengorbankan diri. Dalam sistem kepercayaan sebuah suku di Papua bahkan ada yang mengorbankan diri dengan memotong salah satu jari tangan bila ada keluarganya yang meninggal. Disamping itu ada juga pengikut agama Islam Syiah di Iran dan Irak yang memperingati hari besarnya dengan melukai diri hingga berdarah. Hal yang mirip dengan pengikut Kristen di Filipina Selatan yang merayakan Natal dengan cara memukul-mukul bagian badannya dengan rantai besi. Komunitas Hindu di Malaysia juga punya upacara bernama Tai Pusam, ditandai dengan menusukkan tombak atau jarum ke berbagai bagian tubuhnya hingga darah menetes ke bumi.
          Di desa Tenganan, Karangasem, Bali ada tradisi perang pandan atau lebih dikenal dengan Mageret Pandan yang merupakan ritual menek truna (meningkat dewasa bagi kaum pria). Mereka yang telah berani ambil bagian dalam upacara mageret pandan sudah sah dianggap dewasa secara adat. Dengan menggenggam daun pandan  yang berduri dan tameng yang terbuat dari rotan, mereka mulai berperang dengan cara menancapkan daun pandan ke tubuh lawan lalu menariknya hingga menimbulkan luka dan darah mengucur dari tubuh. Jelas, ritual ini berada dalam bingkai magis, suatu persembahan yang tidak terhenti pada pembuktian pada kelompok tertentu, tetapi juga kepada kekuatan-kekuatan supranatural. Mengucurkan darah dalam perang pandan adalah salah satu persembahan pengorbanan diri kepada Tuhan. Meski kelihatannya sangat mengerikan, tetapi karena dilakukan atas dasar kecintaan dan kerelaan berkorban kepada Tuhan, maka rasa sakit di tubuh sama sekali tidak dirasakan oleh para peserta perang pandan tersebut.
          Dalam perkembangan selanjutnya, suatu cara pengorbanan tidak hanya meliputi pengorbanan diri sendiri, tetapi memakai media lain dengan cara menyembelih binatang, mempersembahkan darahnya dalam upacara caru. Hewan yang biasa dipakai seperti ayam, itik, anjing belang bungkem, kerbau, dan lain sebagainya.
          Ajaran agama Islam juga mengajarkan umatnya untuk memotong hewan kurban seperti kambing, sapi, dan kerbau pada saat hari raya Idul Adha. Perintah berkurban ini adalah sebagai bentuk penghormatan kepada Nabi Ibrahim yang telah merelakan putranya untuk disembelih demi membuktikan kecintaannya terhadap Tuhannya. Pada saat putranya yang bernama Ismail masih kecil dan sedang lucu-lucunya, Tuhan menguji keimanan Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim diperintahkan memotong leher anaknya sendiri untuk dikorbankan pada Tuhan. Sebagai seorang ayah yang menyayangi anaknya tentunya hal tersebut sangat sulit dilakukan. Namun, karena kecintaanya terhadap Tuhan melebihi rasa sayangnya kepada anaknya sendiri, maka Nabi Ibrahim bersedia memotong leher anak kandungnya, tapi akhirnya diganti dengan seekor domba oleh Tuhan, dan anaknyapun selamat. Karena kesediaannya berkorban itulah kemudian Nabi Ibrahim diangkat derajatnya lebih tinggi dan dijadikan contoh oleh umat selanjutnya sampai sekarang.
          Kendati secara praktek pengorbanan kepada dewa-dewa sudah digantikan dengan hewan tertentu, namun dalam seremonial upacara, simbol pengorbanan diri ini masih dilakukan. Salah satu simbol tersebut adalah Ngurek, sebagai bentuk menumpahkan darah sendiri ke bumi. Meskipun tanpa cucuran darah yang menetes dari tubuh pengurek, bukanlah halangan untuk meluapkan kerinduan kepada dewa yang disembahnya. Suasana kerauhan (trance) menjadikan bathin berekspresi dengan leluasa dan jati diri pribadi melakukan kepasrahan total pada Sang Maha Pencipta.

2.3 Jenis - Jenis Ngurek
          Dari pelaksanaan Ngurek di berbagai tempat di Bali, maka Ngurek dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu:
a.     Ngurek yang termetodiskan atau terpola
Ritual Ngurek jenis ini dilakukan dan berlangsung secara teratur dan terkendali, karena menjadi satu rangkaian dengan pelaksanaan upacara piodalan. Umumnya Ngurek dilakukan oleh para pepatih dengan menggunakan keris, tombak, dan alat lainnya.
Ngurek jenis ini merupakan perwujudan bhakti atau keikhlasan seseorang dan sebagai tanda Tedunnya iring-iringan Ida Bhatara menyaksikan jalannya ritual upacara.

b.    Ngurek yang tak termetodiskan
Ngurek yang tidak harus dilaksanakan pada saat ritual keagamaan. Dalam hal ini Ngurek akan dilakukan sesuai kebutuhan sebagai bukti bahwa dasaran itu benar-benar kerauhan sambil memberikan pesan-pesan niskala saat berlangsungnya piodalan, biasanya berkaitan dengan pelaksanaan upacara, apakah sudah diterima atau masih ada suatu yang kurang dari persembahan yang dilakukan. Pada situasi ini mereka yang Ngurek bisa pemangku, dasaran pepatih, penyungsung pura, anggota krama desa, pragina gamelan, tokoh masyarakat, orang dewasa atau anak-anak, laki atau perempuan. Namun mereka melakukan Ngurek tetap dalam kondisi kerauhan. Kendati keris tajam dihujamkan ke tubuh berkali-kali, tak menyebabkan setetes darah pun mengucur. Itu semua bisa terjadi akibat adanya kekuatan-kekuatan lain yang masuk ke tubuh orang tersebut (kerauhan / trance).

c.      Ngurek untuk pertunjukan
Seiring perkembangan dunia pariwisata di Bali, selain untuk kebutuhan upacara keagamaan di pura, berkembang juga Ngurek untuk kepentingan hiburan yang dikenal dengan sebutan Barong and Keris Dance. Pertunjukan ini mementaskan seni Arja dengan lakon Calonarang yang menceritakan kisah pertempuran Ni Calonarang (Ratu Natengdirah) dengan Patih Maling Maguna yang dihiasi pertunjukan menikam-nikam sang Rangda sebagai jelmaan Calonarang.
Para penari semata-mata memberikan atraksi hiburan kepada penonton. Mereka membekali diri dengan jimat kekebalan atau mengatur dengan teknik tertentu supaya terkesan kerauhan sungguhan. Bagi wisatawan asing yang tidak mengerti, apa yang dilakukan oleh penari itu dianggap Ngurek sungguhan. Padahal itu hanya dilakukan dengan menggunakan teknik dan peralatan tertentu sehingga kelihatan serius, keris yang digunakan Ngurek pun dipilih dari jenis khusus yang mudah bengkok dan tidak membahayakan. Meski demikian, tetap dipergunakan perlengkapan upacara seperti banten, pemangku, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan selama pertunjukan.
2.4     Gerakan Ngurek
          Sebelum prosesi Ngurek dimulai, Pemangku Pengenter akan menghaturkan tetabuhan untuk mohon ijin serta keselamatan kehadapan Ida Bhatara.
Untuk pepatih pemula perlu didampingi oleh pepatih senior, karena pada saat mulai kerauhan dia bisa lepas kontrol, sehingga gerakannya jadi tidak karuan. Namun semakin berpengalaman maka ia akan mampu menguasai energi tersebut dan Ngurek menjadi lebih aman.
Apabila Ngurek itu dilakukan dengan tulus dan tidak dibuat-buat, maka gerakan-gerakan yang dimunculkan oleh kekuatan iringan Ida Bhatara akan terjadi dengan hebatnya. Akan tetapi bila ada yang Ngurek tidak murni karena kerauhan, maka mereka akan bergerak sesuai kehendak hatinya dan ini bisa membahayakan dirinya sendiri.
Gerakan saat Ngurek dan kerauhan sangat ditentukan oleh iringan yang ngelinggihin orang tersebut. Jika yang ngelinggihin itu berkarakter ganas, walaupun pepatih itu usianya sudah tua, tetap saja akan menampilkan gerakan yang beringas.
Pada umumnya gerakan saat Ngurek dipengaruhi juga oleh pribadi pepatih yang kerauhan itu dalam kehidupan sehari-harinya. Sebab, biasanya iringan Ida Bhatara akan mencari wadah yang mendekati karakternya. Yang berkarakter ganas akan memasuki manusia yang memiliki pribadi serupa, demikian pula iringan yang berkarakter kalem akan mencari orang kalem juga.
Ngurek dalam sebuah ritual mempunyai gerakan tersendiri sesuai dengan iringan Ida Bhatara yang ngelinggihin. Ada yang berdiri sambil menancapkan keris ke bagian tubuhnya,ada juga yang bersandar di pelinggih kemudian menikamkan keris ke tubuhnya. Biasanya mereka menggunakan sebilah keris,tetapi ada pula yang menggunakan dua buah keris sekaligus. Ada yang bertingkah sambil merayap, berlari mengelilingi bebantenan, ada juga yang melompat-lompat sambil tertawa-tawa.

2.5     Cara Menangani Orang Sedang Ngurek
          Penanganan terhadap orang Ngurek meliputi menjaga, mengawasi, dan bila perlu membantu memegang para pepatih yang sedang Ngurek agar jangan terjatuh atau bergerak berlebihan.
          Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan saat menangani orang Ngurek, diantaranya adalah senioritas para pepatih, gerakan yang ditimbulkan saat Ngurek, iringan Ida Bhatara yang ngelinggihin, kondisi lokasi, dan jenis upacara pada saat Ngurek dilakukan.
Jika seorang pepatih sudah senior dan ngaturang ayah dengan tulus ikhlas, maka dia tidak perlu dijaga dan diawasi, karena dia sudah dapat mengontrol segala gerakannya. Namun, bagi para pepatih pemula sangat perlu penjagaan dan pengawasan, karena biasanya dia belum bisa mengontrol dirinya, sehingga gerakannya jadi tak terarah, berlebihan, malah bisa membahayakan diri sendiri maupun orang lain di sekitarnya, baik itu sesama pengurek maupun penonton yang menyaksikan upacara tersebut.
          Menangani orang Ngurek bagi pepatih yang sudah senior tidak ada masalah walaupun dengan gerakan apapun, biarkan mereka berkreasi dan setelah tiba waktunya, dia akan selesai dengan sendirinya. Kalau sudah selesai (nyineb) kemudian dihaturkanlah arak berem, lalu diperciki wangsuhpada Ida Bhatara.
          Pepatih yang pada saat Ngurek menimbulkan banyak gerakan yang membahayakan seperti sering memindahkan ujung keris dari dada, perut, pinggang, kepala, kelopak mata, pipi, dahi, dan bagian tubuh lainnya biasanya diberi kata-kata peringatan oleh pepatih yang lebih senior atau oleh pemangku. Bila ada pepatih yang bergerak berguling terlalu jauh dan merusak perlengkapan upacara maka biasanya akan ditahan dengan kaki agar dia berhenti berguling.
          Iringan Ida Bhatara yang ngelinggihin pepatih jenisnya bermacam-macam dan hal tersebut akan menimbulkan berbagai bentuk gerakan yang sesuai dengan karakter roh yang memasukinya. Setiap gerakan ini jika dimunculkan secara murni oleh para pepatih, maka akan memperlihatkan suatu gerakan yang indah karena sesuai dengan gerakan ancangan Ida Bhatara yang sedang ngelinggihin. Gerakan yang bersifat murni akan muncul bila Ngurek dilaksanakan dengan tulus ikhlas dan tidak ada maksud untuk pamer kekebalan dan tidak menambah-nambah gerakan buatan sendiri diluar kehendak roh yang merasuki tubuh.
          Lokasi ritual juga mempengaruhi keberadaan pepatih yang sedang Ngurek dan akan berpengaruh juga pada cara penanganannya. Misalnya pada lokasi yang sempit akan memerlukan kemampuan khusus dari para pepatih dan pemangku agar pada saat berdesak-desakan tidak sampai menimbulkan kecelakaan. Begitu juga jika pepatih yang ngaturang ayah jumlahnya cukup banyak diperlukan pengaturan yang bagus agar tidak terjadi saling tabrak antara satu dengan lainnya. Suasana dan kondisi yang kondusif sangat perlu diciptakan, disamping itu juga para petugas pendukung harus tahu dan paham betul dengan tugasnya masing-masing, mampu berkoordinasi dengan baik, sehingga proses Ngurek dapat berjalan dengan lancar.
          Tingkatan atau jenis upacara juga perlu diperhatikan dalam menangani pepatih yang Ngurek. Jika upacaranya tergolong kecil maka jumlah pengurek juga sedikit dengan aura magis yang tidak terlalu kuat, sehingga cara penanganannya juga cukup sederhana. Sebaliknya, jika tingkatan upacaranya tergolong besar, pepatih yang hadir biasanya juga berjumlah banyak, dengan aura magis yang cukup kuat, sehingga penanganannya juga lebih khusus seperti dilengkapi dengan pemotongan beberapa binatang seperti ayam, bebek, dan babi.

2.6     Kecelakaan Ngurek
          “Sepandai-pandai tupai melompat akhirnya akan jatuh juga”, begitulah bunyi salah satu peribahasa, yang artinya walau kita sudah mahir melakukan sesuatu tapi suatu saat pasti akan menemukan kegagalan. Mungkin saja kegagalan tersebut disebabkan kelalaian sendiri, ataupun karena kesalahan orang lain. Begitu juga pada ritual Ngurek, walaupun sudah dipersiapkan dengan matang mungkin saja terjadi kecelakaan, seperti saat Ngurek ada pepatih yang terluka oleh keris yang dipakainya.
Ada beberapa hal yang bisa menyebabkan terjadinya kecelakaan saat Ngurek, diantaranya adalah :
          Pertama, pepatih yang akan ngaturang ayah belum mencapai kerauhan total, tetapi karena peserta yang lain sudah kerauhan dan mulai melakukan Ngurek, maka dia ikut Ngurek dalam kondisi kerauhan yang belum sempurna, mungkin karena merasa malu kalau dianggap tidak dipilih Ida Bhatara. Hal ini dapat mengakibatkan kecelakaan yang berakibat fatal bagi dirinya sendiri.
          Kedua, perasaan ragu dan tidak ikhlas saat ngaturang ayah, akibat permasalahan pribadi dari seorang pepatih akan mempengaruhi kondisi kejiwaan dan emosinya. Hal ini akan menyebabkan ancangan Ida Bhatara yang ngelinggihin tidak dapat masuk dengan sempurna, kekebalan tubuh pada saat Ngurek jadi tidak sempurna, maka kemungkinan terluka saat Ngurek bisa terjadi.
          Ketiga, badan pepatih dalam keadaan leteh atau kotor dapat menyebabkan kecelakaan saat Ngurek. Leteh ini bisa diakibatkan karena melanggar pantangan sebagai pepatih. Salah satu contohnya adalah tidak datang ke tempat-tempat mesum, tidak berselingkuh, tidak makan atau minum yang terlarang, dan lain sebagainya. Hal itu jika dilanggar akan menyebabkan badan menjadi leteh atau kotor. Pada saat kerauhan, ancangan Ida Bhatara dengan energi supranaturalnya masuk ke tubuh pepatih. Namun, karena dalam kondisi kotor, maka tubuhnya tidak sanggup menampung energi yang masuk, sehingga tubuh tidak akan menampakkan kekebalannya.
          Keempat, kesombongan seorang pepatih dapat mengakibatkan kecelakaan. Misalnya, karena dalam kesehariannya biasa menggunakan jimat atau ilmu kekebalan, maka dia merasa yakin dan sesumbar tidak akan tembus senjata saat ditikam. Karena terlalu yakin dengan kekebalan dirinya sendiri mengakibatkan energi dari roh tidak bisa masuk dengan sempurna, akhirnya kekebalan yang dibangga-banggakan tidak bisa berfungsi, dan kecelakaan pun tidak bisa dihindari. Oleh sebab itu, pada saat Ngurek atau Ngunying harus didasari dengan sikap pasrah, tulus ikhlas, percaya sepenuhnya kepada Ida Bhatara, sehingga jimat dan ilmu kekebalan buatan manusia tidak diperlukan lagi.
          Kelima, kecelakaan dapat terjadi karena salah teknik. Bagi pepatih pemula yang merasa dirinya tidak dalam kondisi bagus atau kerauhannya tidak sempurna, cara Ngurek yang aman adalah dengan menekankan ujung keris pada satu titik saja pada bagian tubuh. Namun, untuk pepatih senior yang sudah percaya diri akan kerauhan total, maka bisa saja menusukkan keris ke bagian tubuh yang mana saja tanpa perlu takut terluka.
          Keenam, kecelakaan juga bisa terjadi akibat kurang lengkapnya sarana upacara. Meskipun para pepatih sudah memenuhi semua persyaratan yang ditentukan, seperti sudah siap dan kerauhan total, ngaturang ayah dengan tulus ikhlas, tidak menyombongkan diri sendiri, namun kecelakaan saat Ngurek bisa saja terjadi sebagai peringatan kalau ada upakara atau perlengkapan upacara yang belum lengkap. Biasanya kecelakaan seperti ini bermakana teguran, dan luka yang terjadi juga tidak terlalu serius, hanya sebatas luka ringan saja.

2.7 Pencegahan Kecelakaan Ngurek
          Seperti dalam pembahasan sebelumnya, sudah disebutkan bahwa kecelakaan dalam ritual Ngurek dapat disebabkan oleh beberapa hal. Oleh karena itu untuk mencegah terjadinya kecelakaan saat Ngurek itu, maka penyebabnya perlu ditanggulangi atau dicari jalan keluarnya terlebih dahulu. Setelah kita mengenali penyebab terjadinya kecelakaan saat Ngurek, maka untuk mencegahnya bisa dilakukan dengan lebih mudah asalkan ada kemauan, serta dilakukan dengan tulus ikhlas.
Diantaranya yang dapat dilakukan untuk mencegah kecelakaan Ngurek adalah :
          Pertama, untuk mencegah terjadinya luka yang diakibatkan oleh pepatih yang belum siap atau belum kerauhan total,sudah seharusnya para pepatih yang akan Ngurek tersebut mempersiapkan dirinya sejak awal untuk total ngaturang ayah selama upacara berlangsung. Lakukan semua dengan pasrah dan selalu memanjatkan doa kepada Ida Bhatara sesuhunan setiap akan memulai Ngurek. Hal ini sebagai tanda bahwa setiap tahapan-tahapan upacara harus diikuti sepenuh hati dan selalu ada dalam keadaan siap dan waspada. Begitu juga jika akan melakukan kegiatan Ngurek sudah semestinya setiap pepatih mempersiapkan jiwa dan raganya untuk ngaturang ayah.
          Kedua, Ngurek dengan perasaan ragu-ragu dapat menimbulkan bencana, oleh karena itu bila ketika akan Ngurek ada perasaan ragu-ragu dan tidak tulus, maka daripada nanti menimbulkan dampak buruk lebih baik tidak usah ngaturang ayah bila kondisi tidak mendukung. Kalau sudah ke pura hendaknya kita satukan hati dan pikiran agar fokus pada Ida Bhatara. Itulah sebabnya kenapa hampir seluruh pintu masuk ke utama mandala berbentuk Candi Kurung, bukan Candi Bentar, yang bermakna rwa bhineda dalam pikiran sudah bersatu padu menuju satu tempat ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa.
          Ketiga, Untuk mencegah agar badan pepatih tidak leteh atau kotor, maka setiap pepatih harus rajin membersihkan diri, baik secara sekala maupun secara niskala. Salah satu contohnya adalah dengan melakukan panglukatan yaitu mandi dengan dilengkapi dengan sarana upakara. Disamping itu untuk menjaga kesucian diri, maka perlu dihindari tempat-tempat yang dilarang oleh ajaran agama, seperti diskotik, kafe remang-remang, tempat prostitusi, tempat judi, dan lain-lainnya. Juga perlu dihindari pikiran serta ucapan yang bersifat negatif, yang bisa merusak jiwa.
          Keempat, seorang pepatih harus bersifat rendah hati, tidak boleh sombong dalam menunjukkan kekuatan dan kekebalan, karena Ngurek merupakan serangkaian ritual upacara keagamaan, yang tidak boleh disamakan dengan Ngurek yang hanya bersifat hiburan semata. Jadi seorang pepatih yang melakukan atraksi Ngurek bukanlah untuk memperlihatkan kebolehannya memainkan keris dan senjata tajam lainnya, akan tetapi proses Ngurek itu harus dilakukan dengan tujuan pengorbanan dan menyerahkan diri kepada Tuhan. Walaupun dalam kehidupan sehari-harinya dia memakai ilmu dan jimat kekebalan, namun pada saat melakukan Ngurek semua jimat itu harus dilupakan, dan hanya mengandalkan kekuatan Ida Bhatara.
          Kelima, mengenai teknik Ngurek, masing-masing pepatih punya gaya sendiri-sendiri. Asalkan dia mau memasrahkan dirinya saat Ngurek, maka akan mudah mengalami kerauhan sempurna, sehingga saat demikian roh yang memasuki tubuh akan memberikan kekuatan lebih dan walau ke bagian tubuh mana saja keris ditusukkan tidak akan menimbulkan luka.
          Keenam, untuk menghindari kekurangan upakara, maka perlu pedoman untuk masing-masing pura, berupa buku yang memuat segala sesuatu tentang ketentuan di setiap pura, baik mengenai upakara maupun upacara serta tata cara pelaksanaannya. Dengan adanya panduan seperti itu maka diharapkan tidak ada sarana dan kelengkapan upacara yang dilupakan.
          Bila semua hal tersebut sudah bisa dilaksanakan dengan baik dan benar, maka kecelakaan saat Ngurek bisa dicegah dan ritual Ngurek akan berjalan dengan lancar tanpa ada halangan yang berarti.




BAB III
PENUTUP
3.1    Kesimpulan
          Berdasarkan uraian pembahasan di atas, dapat kita ketahui betapa Bali memiliki beragam budaya juga tradisi yang unik dan menarik. Rangkaian tradisi tersebut biasanya dilakukan sebagai pelengkap ritual upacara keagamaan. Ngurek sebagai salah satu ritual unik yang terdapat di Bali merupakan perwujudan bhakti seseorang kepada Tuhannya. Perilaku Ngurek bisa diartikan sebagai kesediaan berkorban untuk Sang Pencipta. Proses berkorban kepada Tuhan tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Hindu Bali, namun juga bisa kita temukan dalam ajaran agama lain. Walaupun dengan sebutan dan cara yang berbeda-beda, tetapi inti ajarannya adalah sama untuk menunjukkan rasa bhakti kepada Tuhan. Terdapat berbagai jenis dari ritual Ngurek, namun pada dasarnya proses Ngurek dilakukan dalam keadaan kerauhan (trance). Bagi para pelaku Ngurek terdapat ketentuan-ketentuan serta pantangan yang harus dipatuhi dan ditaati, karena bila hal tersebut dilanggar akan bisa berakibat fatal pada saat melakukan ritual.

3.2     Saran
          Dari pembahasan yang sudah disampaikan mengenai apa dan bagaimana ritual Ngurek yang berkembang dalam masyarakat Hindu Bali, maka terdapat beberapa saran yang dapat penulis sampaikan yaitu :
a.     Bagi masyarakat Bali hendaknya mau mempelajari kebudayaan dan tradisi yang ada sebagai salah satu warisan luhur yang perlu dilestarikan.
b.     Ngurek merupakan warisan budaya yang unik, oleh karenanya sudah seharusnya kita mengenal tradisi ini, serta mau mempelajarinya.
c.      Agar tradisi Ngurek tidak hilang oleh kemajuan jaman, maka perlu kita lestarikan dengan cara mengajarkan kepada para pemuda sebagai generasi penerus.
d.     Untuk para pelaku Ngurek diharapkan bersedia melakukan ritual ini dengan rasa tulus ikhlas, benar-benar karena kerelaan berkorban untuk Tuhan Yang Maha Esa.


DAFTAR PUSTAKA

1.     Oka Swadiana, Jero Mangku dan N Putrawan. 2007. NGUREK: Pengorbanan Diri Pemuja Shakti. Denpasar : Majalah Hindu Raditya.
2.     Picard, Michel. 2006. Bali:pariwisata budaya dan budaya pariwisata. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia.
3.     Oka Swadiana, Jero Mangku. 2008. Ngereh : ritual,spiritual, tradisional. Denpasar: Paramita.
4.     Sanggra, Made. 1993. Kiwa-tengen dalam dalam budaya Bali. Denpasar: Kayumas.
5.     Aryantha Soethama, I Gde. 2004. Bali tikam Bali. Denpasar: Arti Foundation.
6.     Abdul Halim, Adil Musthafa.  2007. Kisah Bapak dan Anak Dalam Al Qur’an. Jakarta: Gema Insani.
7.     Semarak Aksi Ngurek Keris. 2010-07-05. www.jawapos.co.id
8.     Widiatmojo, Radityo.Upacara Pengerebongan dan Tradisi Ngurek. 01-01-2011. www.wordpress.com.